Senin, 14 Mei 2012

ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN DAN KEBERADAAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


Oleh : MOZA Robbani
Sejak awal didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tahun 1912, organisasi Muhammadiyah telah dikonsentrasikan sebagai gerakan Islam dan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung arti luas yakni mengajak manusia untuk beragama Islam, meluruskan keislaman kaum muslim serta meningkatkan kualitas kehidupan baik secara intelektual, sosial, ekonomi maupun politik. Dalam usaha untuk memurnikan pengamalan ajaran Islam (purifikasi) sekaligus mengangkat kehidupan umat, Muhammadiyah lebih berani menerapkan sekolah agama modern dengan menerapkan metode rasional yang lebih menekankan pada pemahaman dan penalaran ketimbang hafalan. Amal usaha yang ditangani organisasi ini kian lama kian berkembang. Sekolah-sekolah (dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi), rumah sakit, dan poliklinik, berdiri tidak hanya di Jawa tetapi juga di luar Jawa. Secara kuantitatif usaha yang dilakukan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan sosial memang cukup besar, namun secara kualitatif masih dipertanyakan oleh para simpatisan dan warga Muhammadiyah.



 Pendidikan Islam sudah berlangsung di Indonesia sejak lama. Dalam definisi yang agak longgar, pendidikan Islam bisa dikatakan sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke wilayah ini. Hanya saja kegiatan pendidikan Islam baru dianggap fenomenal dan mendapat perhatian serius dari para sejarawan pada masa-masa jayanya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam keberadaan dan maju mundurnya kegiatan pendidikan Islam sepenuhnya tergantung pada struktur dan perhatian yang diberikan kerajaan kepadanya. Namun demikian, dalam kenyataan terlihat jelas bahwa pendidikan Islam memperoleh dukungan yang relatif baik dari para raja dan sultan muslim. Hal ini terbukti dengan jumlah ilmuan muslim dan literatur yang mereka tinggalkan sebagai khazanah klasik Islam Nusantara (Braginsky, 1998). Para ilmuwan Nusantara bahkan diketahui telah membangun jaringan ilmiah yang berwatak kosmopolitan, melibatkan pusat-pusat kegiatan ilmiah terkemuka di dunia Islam (Azra, 1994; Bruinessen, 1996).
Pada abad ke-20 –setelah melalui proses panjang pembusukan sistem kerajaan Islam Nusantara dan jatuhnya wilayah ini ke bawah kolonialisme bangsa-bangsa Barat– watak pendidikan Islam Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Memudarnya kerajaan secara langsung turut menghancurkan sistem pendidikan tradisional; lalu keadaan ini diperburuk pula oleh misi kolonialisme yang pada intinya tidak menghendaki majunya pendidikan Islam. Hancurnya sistem politik dan lemahnya sistem sosial umat Islam memaksa umat Islam mengorganisasikan pendidikan dalam unit-unit yang lebih kecil dari masyarakat Islam.
Dengan kata lain, fragmentasi sosio-politik mengakibatkan fragmentasi sistem pendidikan. Salah satu aspek menarik dari keseluruhan proses ini adalah lahirnya sejumlah organisasi sosial keagamaan –Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perti, Al-Jam’iyatul Washliyah, Al-Irsyad, dan lain-lain– yang menjadikan pendidikan sebagai bagian penting dari programnya.
Peranan dari organisasi-organisasi ini dalam menggagas, melaksanakan, dan mengembangkan kegiatan pendidikan Islam tidak saja telah berhasil memenuhi kebutuhan pendidikan umat Islam Indonesia, tetapi lebih dari itu juga telah memainkan peran yang lebih luas berdasarkan kondisi yang melingkupinya. Sejumlah penelitian telah dilakukan oleh para ahli berkenaan dengan berbagai organisasi ini (Steenbrink, 1974; Noer, 1988; Hasanuddin, 1988; Yunus, 1993; Daya, 1990).
Pada umumnya, para pengamat menganggap bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang paling berhasil dalam pengelolaan pendidikan. Organisasi ini biasanya dipandang mampu melakukan pendefinisian peran yang senantiasa mengikuti perkembangan kedaan zaman. Oleh karena itu, perkembangan internal yang terjadi dalam organisasi ini dalam pengelolaan pendidikan Islam amatlah menarik untuk dijadikan sebagi fokus perhatian.
Organisasi Muhammadiyah adalah sebuah wadah sosial Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dan bercirikan Islam. Jangkauan anggota organisasi ini secara geografis dan etnis sangat luas, bahkan saat ini Muhammadiyah tidak hanya ada di wilayah Indonesia, tetapi juga terdapat di beberapa negara ASEAN, meskipun hubungannya lebih bersifat aspiratif ketimbang instruktif (Azra, 1995).
Sejak awal berdirinya organisasi ini telah dikonsentrasikan pada gerakan Islam secara substansial (Ma’arif, 1995:5) dan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung arti luas yakni mengajak manusia untuk beragama Islam, meluruskan keislaman kaum muslim, serta meningkatkan kualitas kehidupan mereka baik secara intelektual, sosial, ekonomi maupun politik. Pengelolaan organisasi dilakukan secara modern. Dikatakan modern karena proses regenerasi kepemimpinan berlaku secara berkesinambungan. Selain itu, tidak terjadi proses kultus individu, yang memandang pimpinan organisasi sebagai sosok individu yang paling sempurna.
Dalam AD-ART bab II pasal 3, dinyatakan bahwa tujuan didirikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhoi Allah SWT, dalam usahanya untuk memurnikan pengamalan ajaran Islam (purifikasi) dan sekaligus mengangkat kehidupan umat. Muhammadiyah berani menerapkan sistem sekolah agama modern yang menerapkan metode rasional dan lebih menekankan pada pemahaman dan penalaran ketimbang hafalan. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem pengajaran yang berkembang pada masa didirikannya organisasi ini (Lapidus, 1989:76). Muhammadiyah sering dikatakan hanya melakukan adopsi pendidikan Barat tanpa mengkaji "secara serius aspek filsafat pendidikan yang mendasarinya." Padahal pendidikan Barat yang diterapkan Belanda tidak dapat dipisahkan dari kegiatan misionaris (Steenbrink, 1995:22-23), atau lebih mendasarkan pada nilai pragmatis, artinya cocok dan mudah dipahami oleh masyarakat urban, misalnya salat tarawih delapan rakaat, dan sebagainya yang kadang menimbulkan masalah baru dan tidak kalah pelik dan kompleks. Dengan alasan ini kemudian para cendekiawan menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharu), modernis, dan sejenisnya (Benda, 1980:70). Jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ini semakin diperkuat dengan jargon-jargonnya seperti ijtihad, tidak bermazhab, kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, dan sebagainya.
Pada periode awal kebangkitan, Muhammadiyah telah berhasil menjalankan misinya. Banyak data dan fakta yang diajukan untuk mendukung hal ini. Bahkan, dengan gerakan purifikasinya, Muhammadiyah sering dituduh oleh kelompok lain yang tidak sepaham sebagai gerakan "kaum wahabi Indonesia."
Dalam dinamika proses kelahirannya, Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharu atau tajdid, terlebih dari aspek purifikasinya. Setidaknya dalam ukuran tertentu Muhammadiyah telah mengembangkan misi ganda. Pertama, misi purifikasi, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman Islam, dengan membentengi keyakinan aqidah Islam serta berbagai bentuk ritual tertentu dari pengaruh sesat. Kedua, dengan landasan universalitas ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan, terutama pada ajaran yang berkaitan dengan nonibadah, seperti aktivitas yang bersumber dasar ajaran Islam dan hanya memberikan prinsip-prinsip bersifat global.
Namun, pada era belakangan ini khususnya dua dasa warsa terakhir banyak kalangan, termasuk para pendukungnya, yang kritis mempertanyakan kembali gelar tajdid yang dilakukan Muhammadiyah. Mereka menilai Muhammadiyah mulai dan sudah kehilangan elan-tajdidnya, bahkan secara lantang mereka mengatakan Muhammadiyah mandul dan mengalami stagnasi dalam pemikiran (Karim, 1986:34).
Sikap skeptisisme ini muncul karena Muhammadiyah telah terjebak pada keraguan yang lebih berkaitan pada ketadjdidan pengembangan pemikiran Islam, terlebih pemikiran Islam yang khas Indonesia. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1995:3), akar kejumudan terletak pada doktrin atau konsep teologi yang semakin dipertanyakan relevansinya di tengah masyarakat pascamodern yang sedang mengalami kegundahan keagamaan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskusikan Muhammadiyah dalam aspek gerakannya yang luas, namun lebih memfokuskan pada salah satu aspek gerakan pembaharuan Muhammadiyah yakni gerakan di bidang pendidikan. Bahkan, gerakan dalam pendidikan merupakan komitmen utama Muhammadiyah untuk melakukan pembaharuan dalam segala aspek.
2. Pembahasan
2.1. Kelahiran Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II hingga sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta tanggal 18 November 1912, atas saran murid-muridnya dan beberapa orang yang tergabung dalam Budi Utomo, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, anak Kyai Haji Abubakar bin Kyai Sulaiman (Khatib Mesjid Sultan) dan ibunya anak Haji Ibrahim, penghulu.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahu, fiqh, dan tafsir di Yogyakarta dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 selama setahun. Salah seorang gurunya di Mekkah adalah Syeikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia kembali mengunjungi Tanah suci selama dua tahun.
Untuk mencapai tujuan organisasi Muhammadiyah, didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan dengan mengintensifkan pelaksanaan dakwah yang lebih mengutamakan aspek-aspek Islam, mendirikan institusi wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, majalah, dan surat kabar, serta lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah yang terutama bertujuan "menyebarkan pengajaran kanjeng nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera" dan "memajukan agama Islam."
Dengan sikap toleran dan pengabdian yang sungguh-sungguh dan kemauan yang tinggi, organisasi ini berkembang dan tumbuh dengan cepat dan terorganisir secara rapi. Pada tahun 1925, organisasi ini telah mempunyai 29 cabang dengan 4.000 anggota. Kegiatan dalam bidang pendidikan meliputi delapan Hollands Inlandse School (HIS), satu sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun, satu Schakelschool, 14 madrasah, yang jumlah guru seluruhnya mencapai 119 orang sedang muridnya mencapai 4.000 orang. Dalam bidang sosial, organisasi ini memiliki klinik di Yogyakarta dan Surabaya dan sekitar 12.000 pasien telah memperoleh pengobatan; satu rumah miskin dan dua rumah Yatim Piatu. Sedangkan bagian publikasi telah menerbitkan sejumlah 700.000 buku dan brosur (Deliar Noer, 1993:191-194)
Di samping ide pemikiran Ahmad Dahlan, lahirnya Muhammadiyah sebagai manifestasi dari keinginan umat Islam saat itu untuk mewujudkan keyakinan akan kebenaran dan ketinggian Islam dengan tujuan utamanya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil al-‘amin atau kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Lahirnya pemikiran modern organisasi ini di awal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dengan situasi dan kondisi sosial, politik yang dihadapi umat Islam saat itu (Lubis, 1987:13). Kondisi sosial politik kala itu, di mana umat Islam berada dalam cengkraman kolonial, sebagai faktor eksternal mendorong munculnya organisasi ini. Faktor internal yang ikut mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah sikap keberagamaan umat Islam kala itu yang dinilai sangat sinkretis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha dalam menjalankan ibadah ritual serta rendahnya partisipasi umat Islam dalam pendidikan.
Selain sikap keberagamaan umat Islam pada saat itu yang masih belum rasional, menyebabkan banyak ajaran Islam dicampuradukkan dengan syirik, khurafat, bid’ah, dan taqlid. Sikap ini disebabkan oleh besarnya pengaruh kepercayaan dan keyakinan Hindu dan animisme dalam kehidupan masyarakat, selain akibat dari proses Islamisasi yang berbau sufisme atau mistisisme dan paham tarekat. Pemahaman ini akibat kedangkalan berpikir umat Islam yang hanya cenderung mengikuti salah satu mazhab. Sistem pendidikan yang lebih menekankan pada kemampuan mengaji bukan mengkaji (penalaran) sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional yang kurang rasional.
Gencarnya gerakan westernisasi kala itu, yang sengaja memperkenalkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa diimbangi dengan pendidikan agama oleh pemerintah Belanda, membuat KH Ahmad Dahlan merasa gerang dan berfikir bahwa salah satu wadah yang tepat untuk menangkal gerakan tersebut adalah dengan cara mendirikan Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan beranggapan bahwa gerakan westernisasi tersebut merupakan ancaman umat Islam terbesar di awal abad ke-20. 

Pemikiran Muhammadiyah
Pemahaman tentang ide pemikiran dan amal usaha Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan tokoh pendirinya, sebab pandangan pendiri tersebut hingga saat ini tetap dijadikan sebagai gerakan pola dasar pengembangan Muhammadiyah. Terdapat sepuluh konsep pemikiran KH Ahmad Dahlan yang oleh R.H. Hajid dirangkum menjadi tujuh kerangka pemikiran yaitu: Pertama, ulama adalah orang yang berilmu dan hatinya hidup (kreatif) serta mengembangkan ilmunya dengan ihklas. Kedua, untuk mencari kebenaran, orang tidak boleh merasa benar sendiri. Ketiga, bersedia mengubah pikiran dengan sikap dan hati terbuka. Keempat, dalam mencapai tujuan hidup, manusia harus bekerja sama dengan menggunakan akal. Kelima, cara mengambil keputusan yang benar harus bersedia mendengar dan mempertimbangkan akhlaq. Keenam, berani mengorbankan harta milik untuk membela kebenaran. Ketujuh, mempelajari teori dan keterampilan dengan bertahap. Konsep pemikiran tersebut didasarkan (Q.S. Al-Ma’un 1-7 dan Al-Anfal: 24).
Berdasarkan pendangan di atas Muhammadiyah sebagai gerakan da’wah dan tajdid yang identik dengan gerakan Islam, berusaha menghidupkan akal pikiran umat Islam, serta membangun kemampuan profesional bagi umat Islam untuk meraih kebahagiaan jasmani dan rohani (Mulkan, 1990:43). Karena itu, gerakan Muhammadiyah harus dipahami dari dua segi. Pertama, berciri atau bersifat Islam seperti kedisiplinan, gigih, tidak mudah frustasi, dan kreatif. Kedua, mementingkan ukhuwah Islamiyah, dan harus menjaga dan menggerakkan Islam sebagai gerakan yang dinamis yang tidak saja untuk kepentingan warga Muhammadiyah tetapi berfungsi sebagai rahmatan lil’alamin.

Perkembangan organisasi
Titik awal perkembangan Muhammadiyah adalah ketika KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai Khatib di kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1896 ketika berumur 28 tahun untuk menggantikan ayahandanya. Tahun 1898 KH Ahmad Dahlan mempelopori Musyawarah Alim Ulama Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut KH Ahmad Dahlan menawarkan ide agar arah kiblat mesjid besar Yogyakarta diubah sesuai perhitungan ilmu falaq. Namun, ide tersebut ditentang oleh para ulama lain. Sejak itu KH. Ahmad Dahlan mendirikan surau di samping tempat tinggalnya dengan arah kiblat dicocokkan dengan perhitungan ilmu falaq.
Tahun 1909 KH Ahmad Dahlan masuk ke organisasi Budi Oetomo dengan maksud untuk memperlancar da’wah kepada anggota Budi Oetomo dan siswa yang belajar di sekolah Belanda. Pengaruh KH Ahmad Dahlan dalam organisasi Budi Oetomo inilah yang kemudian mendapat rekomendasi dari Budi Oetomo untuk mendirikan Muhammadiyah 1912 yang disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1914.
Setelah Muhammadiyah mendapat rekomendasi, ruang gerak organisasi ini meliputi seluruh wilayah Jawa. Setahun kemudian ia meliputi seluruh Wilayah Hindia Belanda. Perluasan ini dimanfaatkan untuk mendirikan perkumpulan Kaum Ibu yang diberi nama "Sapatresna" tahun 1914, yang dipimpin langsung oleh isteri Kyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah). Tahun 1920, perkumpulan ini berubah menjadi "Aisyiyah", dan pada tahun 1922 menjadi organisasi otonom.
Tahun 1918 didirikan sekolah baru bernama "Al-Qin Al-Arqa". Dua tahun kemudian dari sekolah ini didirikan Pondok Muhammadiyah di Kauman. Pada tahun 1923 Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8 jenis sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 1019 yang diasuh oleh 73 orang guru.
Tahun 1921 Muhammadiyah mendirikan sebuah wadah yang memusatkan perhatiannya untuk mempermudah pelaksanaan ibadah haji. Berdirinya wadah ini memberikan inspirasi munculnya Direktorat Pembinaan Urusan Haji Departemen Agama.
Setiap perkembangan Muhammadiyah selalu diiringi oleh perkembangan amal usahanya. Usaha mula-mula dilakukan dengan mendirikan sekolah serta menyelenggarakan pengajian Islam. Selanjutnya, di bidang kesejahteraan ekonomi, kesehatan, dan kajian hukum Islam. Usaha-usaha tersebut melahirkan Rumah Sakit, Rumah Yatim Piatu, Rumah Miskin, Rumah Jompo, Majelis Tarjih, Majelis Pembina Kesejahteraan Umut (PKU), Majelis Ekonomi, Majelis Kehartaan, dan Wakaf tahun 1926.
Penyempurnaan amal usaha terlihat sejak dibentuk Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU), tabligh, taman pustaka, yayasan dan Aisyiyah, serta pemuda. Bagian-bagian tersebut masing-masing membidangi unit-unit kerja tertentu sesuai dengan misi kinerja yang akan dikembangkan.
Tahun 1927, misalnya bidang Majelis Ekonomi ditetapkan akan membentuk Bank Muhammadiyah, meskipun hingga sekarang belum mampu direalisir. Tahun 1929 melalui Taman Pustaka dibentuk Badan Penerbitan Buku dan Komisi Sekolah, serta mendirikan rumah pertolongan di setiap daerah. Tahun 1930 dibentuk Consul HB (Hoofd Bestuur) sebagai koordinator Muhammadiyah Pusat di daerah-daerah yang kemudian menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
Pada kongres ke-21 tahun 1932 dibentuk badan penerbitan sebuah harian. Badan penerbit ini melahirkan Harian Adil di Solo dan kemudian Majalah Remaja sebagai majalah Pemuda Muhammadiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1936 dibentuk Badan Majelis Pertolongan dan Kesehatan. Setahun kemudian, dibentuk Komisi Kesehatan Muhammadiyah yang mulai menyebar ke seluruh daerah sekitar tahun 1938.
Tahun 1939 dibentuk Majelis Wakaf dan kehartabendaan, serta Majelis Tanwir (musyawarah) yang terdiri dari pengurus wilayah Muhammadiyah sebagai suatu lembaga di bawah muktamar atau kongres.
Dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia, warga Muhammadiyah pernah beramai-ramai memberikan dukungan terhadap Partai Serikat Islam. Tokoh-tokoh Muhammadiyah pernah menjadi anggota istimewa Masyumi, yang ikut serta melahirkan Partai Muslimin Indonesia. Keterlibatan tokoh-tokoh Muhammadiyah terhadap salah satu Partai politik tidak pernah dilakukan secara resmi atau secara organisatoris, hanya sebatas berkeinginan untuk menyalurkan aspirasi Muhammadiyah terhadap salah satu wadah. Namun, tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam aktivitas partai merasa kecewa, lantaran partai-partai politik tidak bisa dijadikan sarana menyalurkan aspirasi Muhammadiyah, hingga tokoh-tokoh tersebut keluar dari partai politik, baik secara individu atau kelompok. Meskipun tokoh-tokoh Muhammadiyah telah keluar dari salah satu Partai Politik, namun secara organisatoris Muhammadiyah tetap memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya, sesuai dengan panggilan nurani masing-masing. Bahkan, Muhammadiyah pernah memberikan kebebasan kepada warganya untuk memilih partai yang tidak berasaskan Islam.
Demikian sekilas perkembangan Muhammadiyah baik selama dalam kepemimpinan KH Ahmad Dahlan maupun sesudahnya, hingga dilakukan pembaharuan organisasi tahun 1960, baik secara vertikal maupun harizontal. Pembaharuan secara vertikal terkait dengan pembenahan struktur dengan pembentukan jaringan tradisional mulai tingkat pusat sampai tingkat ranting. Secara harizontal pembaharuan mencakup pertumbuhan jumlah amal usaha Muhammadiyah yang berkembang secara cepat dan maju, (Arifin, 1996:258).

Amal usaha dalam bidang pendidikan
Kehadiran Muhammadiyah dimaksudkan untuk menangani semua aspek kehidupan sosial, sesuai dengan kemampuan dan problem yang dihadapinya. Pada awal berdiri, Muhammadiyah menitikberatkan pada usaha dakwah melalui tabligh, pengajian, pendidikan, dan pembinaan keluarga Muslim yang hanya mencakup wilayah Residensi Yogyakarta, kemudian berkembang meliputi seluruh Jawa dan seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda, bahkan akhirnya diperluas wilayahnya ke berbagai daerah.
Demikian halnya amal usaha yang ditangani kian lama menjadi berkembang secara pesat dan cepat seiring dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Dalam mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan umat Islam, Muhammadiyah menempuh tiga proses, yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Ta’lim berusaha mencerdaskan otak manusia, tarbiyah mendidik perilaku yang benar, sedangkan ta’dib memperhalus adab kesopanan. Secara teoritis, seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah berusaha menggelindingkan pencerahan tiga dimensi itu sekaligus, berdasarkan wawasan keislaman (Rais, 1996).
Gerakan di bidang pendidikan semakin gencar dilakukan setelah Muktamar ke-41 di Surakarta diadakan perubahan Anggaran Dasar pasal 4 yang berisi tentang ruang lingkup amal usaha Muhammadiyah yang meliputi: pengembangan penyelidikan nilai dan hukum Islam (tarjih) serta pengembangan pendidikan dan kebudayaan, tabligh, tolong menolong, kepustakaan, penertiban wakaf, kepemudaan, kewanitaan, dan kesejahteraan hidup anggota (ekonomi).
Pada dasarnya, kegiatan di bidang pendidikan sudah dimulai sejak awal berdirinya, berkaitan dengan amal usaha lainnya. Tahun 1929 jumlah rumah sekolah yang didirikan oleh Muhamamdiyah di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta sudah mencapai 126 buah. Selain itu, sejumlah balai pengobatan (poliklinik) di kota-kota Yagya, Surabaya, dan Malang telah mengobati sebanyak 81.000 orang pasien (Karim, 1986:123).
Mengenai usaha di bidang pendidikan, Shodiq T. Sutaikrama, sebagaimana dikutip Rusli Karim, menyatakan bahwa sektor usaha pendidikannya menghadirkan 13.201 sekolah mulai jenjang Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Menanggapi perkembangan secara kelembagaan ini, patut disyukuri karena Muhammadiyah telah memiliki amal usaha yang cukup banyak. Selain memiliki lembaga pendidikan, juga memiliki sekitar 215 Rumah Sakit dan Poliklinik.
Secara kuantatif, usaha di bidang pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah memang cukup besar dan membanggakan, namun secara kualitatif masih dipertanyakan oleh para simpatisan dan warga Muhammadiyah dengan melakukan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di semua jenjang pendidikan. Berdasarkan hasil evaluasi, lahirlah beberapa sekolah Muhammadiyah unggulan sebagai jerih payah pengurus Muhammadiyah dan pengelola sekolah yang dimotivasi oleh munculnya rasa ketidakpuasan dalam arti positif yakni keinginan untuk maju dan terus maju.
Dunia pendidikan menjadi salah satu konsentrasi pengembangan misi Muhammadiyah yang sistem pengajarannya berpolakan sistem sekolah negeri. Sistem pendidikan dan pengajaran tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan sendiri suatu sistem pendidikan Islam, melainkan untuk mengorganisir sistem pendidikan swasta yang sejajar dengan sistem nasional. (Arifin, 1996:270)
Memang sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah cenderung menyesuaikan dengan sistem pendidikan kolonial sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan dan bukan dalam materi atau isi serta tujuan pendidikannya. Dalam analisis terhadap gerakan-gerakan pendidikan Islam di Indonesia yang muncul pada setengah abad pertama abad ke-20 dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah dan Abdullah Ahmad di Minangkabau sebagai gerakan yang bersifat akomodatif, sedangkan gerakan-gerakan seperti Persatuan Islam (Persis), NU, PUI, Jam’iyatul Wasliyah dan Perti lebih bersifat asimilatif (Langgulung, 1988:69). Kemudian, Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah yang mirip dengan pesantren, yang dapat digolongkan assimilatif.
Pada dasarnya reorientasi kelembagaan dan reorientasi tujuan pengajaran Muhamamdyah didasarkan pada perkembangan dan tuntutan yang muncul untuk melakukan pembaharuan. Kontekstualisasi pengajaran tersebut diharapkan agar secara kualitatif pendidikan yang dikelolah oleh Muhammadiyah dapat dipertanggung jawabkan.
Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan generasi muda selain melalui pendidikan dan pengajaran baik yang dilakukan secara formal maupun informal, juga dibentuk suatu wadah kegiatan pemuda yang disebut Hisbul Wathan. Wadah ini disiapkan untuk menyalurkan potensi dan aspirasi di kalangan generasi muda Muhammadiyah yang kemudian diubah menjadi kegiatan "Pramuka". Munculnya wadah atau organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah, dan sejenisnya, yang merupakan wujud nyata dari perkembangan usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
Munculnya beberapa wadah pelajar dan kepemudaan tersebut menampakkan ikatan emosional kemuhammadiyahan, juga sebagai agen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan sekaligus perubahan yang dimungkinkan akan terjadi sebagai reaksi terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Secara organisatoris dan sebagai wujud nyata atas perkembangan Muhammadiyah, organisasi-organisasi tersebut menjadikan Muhammadiyah lebih mapan.
Namun, banyak kritik yang dilakukan oleh para cendekiawan baik di lingkungan Muhammadiyah maupun simpatisan terhadap keadaan Muhammadiyah dewasa ini. Kritik tersebut adalah sebagai berikut. Bahwa secara kuantitas Muhammadiyah terus berkembang, namun kurang diimbangi oleh kemampuan kualitas, dan sebagai akibat merosotnya keterlibatan kaum intelektual di kalangan Muhammadiyah, maka terjadi semacam alienasi kaum intelektualnya. Selain daripada itu, gerakan Muhammadiyah cendrung terjebak pada kegiatan rutin, sehingga kurang kreatif dan inovatif.
Terlepas benar tidaknya, kritik tersebut harus diterima secara lapang dada. Sikap keterbukaan tersebut pada akhirnya akan membawa Muhammadiyah ke ujung kemajuan, jika kritik dimaksud ditanggapi secara rendah hati untuk memperbaiki diri. Kritik yang sama dikemukakan oleh AR Fachrudin, bahwa Muhammadiyah masih kekurangan kader ulama, muballigh, petugas sosial, jurnalistik, pustakawan, ekonom, manajer, cendekiawan, kebudayaan dan sebagainya (Sujarwanto, 1980:381).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar