Minggu, 27 Mei 2012

Guru dan Problem Pendidikan

Batam-TPG. TERKEJUT dan kaget. Ungkapan ini mungkin tepat untuk menggambarkan berapa terhentaknya kita semua mendengar laporan Sekretaris Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) yang disampaikan pada acara Konferensi Nasional Matematika XIII dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia yang diselenggarakan Unnes Semarang. Saat itu Sekretaris BNSP mengatakan bahwa secara nasional jumlah guru SD yang tidak layak mengajar mencapai 609.217 orang atau sekitar 49,3% dari tenaga pendidik yang ada di Indonesia.

Apabila kita mencoba melakukan refleksi mendalam, kita temukan berbagai persoalan muncul silih berganti melanda dunia pendidikan nasional kita, baik yang berskala mikro maupun yang makro.
Selain tantangan yang amat berat utamanya dalam upaya menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global, juga masih dihadapkan pada dampak buruk dari krisis dalam berbagai bidang kehidupan dan kenaikan harga BBM yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan di segala jalur jenis dan jenjang pendidikan.

Salah satu permasalahan esensial pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang, jalur, dan satuan pendidikan. Bahkan kalau kita amati lebih cermat kondisi pendidikan di negeri ini dari hari ke hari semakin menurun kualitasnya. Berdasar hasil penelitian tentang Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, saat ini kita berada pada peringkat 110 dari 174 negara yang diteliti.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Brunei dan apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif.

Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, manajemen mutu sekolah, sistem SKS, dan menyiapkan sekolah unggul.

Bahkan untuk yang terakhir ini, menurut Dirjen Mandikdasmen pemerintah menyediakan dana blockgrant Rp 500 juta pertahun selama lima tahun. Namun demikian sampai saat ini tanda-tanda bahwa dunia pendidikan kita semakin membaik tidak kunjung muncul indikasinya.

Pertanyaannya, mengapa sampai saat ini mutu dunia pendidikan nasional kita masih memprihatinkan dan apa akar persoalan yang menyebabkan semua itu terjadi?

Guru: Pihak yang Tertuduh

Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan.

Namun begitu guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan.

Guru memang merupakan komponen determinan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan (output) melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcome) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa serta umat manusia pada umumnya.

Pendidikan nasional kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, pendidikan kita dikelola hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial-and-error, dan instan.

Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, maka tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesional merupakan suatu keniscayaan yagn tidak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah lahirnya UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas - sudah barang tentu - mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan.

Upaya pengembangan itu memang merupakan suatu keharusan, mengingat tuntutan standar kualitas serta kebutuhan di lapangan juga terus-menerus mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era global ini.

Guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keharusan.

Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a).

Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (satu) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.

Dua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa. Tiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. Empat, guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belejar dari pengalamannya. Lima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional - seorang guru yang sejati - harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu.

Prinsip bahwa tanpa ilmu pendidikan maka praksis pendidikan menjadi semu, menyesatkan dan membahayakan bangsa. Tetapi bagaimana realitasnya?

Pendidikan nasional kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, pendidikan kita dikelola hanya dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, trial-and-error, dan instan.

Betapa tidak, lihat misalnya kasus KBK, sistem SKS, dan yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah persoalan sertifikasi dan uji kompetensi guru. Sertifikasi dan uji kompetensi guru hanya memenuhi tuntutan dunia modern, budaya global, logika bisnis, dan reaktif-pragmatik. Reaktif karena harus memenuhi tuntutan globalisasi, pasar terbuka dan persaingan bebas. Pragmatik, karena dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah aktual yang pada dasarnya sangat teknis.

Itu memang penting, tetapi yang lebih penting lagi perlu ada pemahaman bahwa pendidikan lebih dari itu, tidak hanya menyelesaikan persoalan aktual, tetapi persoalan kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan harus mampu membekali peserta didiknya dengan kemampuan individual, lokal, sehingga menjadi warga negara yang mandiri dan berdaya, serta menjadi lebih antisipatif-humanistik.

Persoalan lain yang tidak kalah essensialnya yang menyebabkan mutu pendidikan semakin memprihatinkan adalah kecenderungan kita mengambil konsep dari luar, tanpa mau memahami konteksnya yang lebih luas dan implikasinya yang lebih jauh. Asal saja kita mendengar ada suara dari luar yang agak aneh, KBK, sertifikasi, lesensi, standarisasi, misalnya, kita cepat menerimanya sebagai "pasti bagus". Padahal konsep yang kita anggap bagus saat ini itu di negara mereka merupakan konsep yang sudah lama ditinggalkan. Mereka selalu bergerak dan maju terus kita selalu menunggu hasil dokumentasi dan menyesuaikannya. Akibatnya kita senantiasa berkembang denegan ketertinggalan yang berkelanjutan. (rdy-TPG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar