Kamis, 17 Mei 2012

Muram Wajah Pendidikan

Sungguh hal seperti ini yang membuatku menggambarkan dalam sebuah potret tentang pendidikan yang ada dalam pikiranku. Biarkan aku mendeskripsikan seperti apa potret itu. Yang tergambarkan adalah sebuah potret dari muka gadis cilik yang muram (yang menjadi fokus utama dalam potret), sedang di belakangnya terdapat banyak muka  guru yang sedang tersenyum bagaikan sedang menerima gaji yang lebih dari biasanya, lalu ada seorang guru yang nampak kurus dengan kantung mata yang menghitam, dan pada bagian terpencil dari potret itu ada sepasang orang tua yang nampak tak dapat menutupi raut wajah kuatir.
Pagi ini aku bertanya kepada seorang adik yang cukup ku kenal. Dia sedang dalam tahap untuk memasuki jenjang perkuliahan dalam beberapa bulan ke depan. Aku bertanya kepadanya “Jurusan apa yang akan kamu pilih di universitas nanti?”


“Aku masih bingung bang” jawabnya
“Mengapa?”
“Aku sih pengen kuliah di jurusan “A”, tapi jurusan itu kan nanti susah kalau cari kerja”
“Lah…?” aku kebingungan. Tapi ku beranikan diri melanjutkan pembicaraan yang telah kumulai ini, sebagai bentuk pertanggungjawaban karena telah lancang untuk bertanya di awal.
“Dek, abang kan bertanya tentang kelanjutan pendidikanmu. Kenapa jawabanmu begitu jauh, sampai-sampai membicarakan dunia pekerjaanmu nantinya. Memangnya saat kau melanjutkan kuliah, kamu hanya berpikir tentang pekerjaan?”
“Lah iya bang. Kan kalau lulus nanti aku mau bekerja juga. Kaya abang gitu deh.”
“Emang kau bisa lulus nanti”
“Ihhh… abang doanya gak asik nih. Masak doain aku biar gak lulus kuliah!” tandasnya dengan raut muka kesal.
Aduh…aduh… apa-apaan ini. Adik ini memasuki kuliah dengan motivasi untuk bekerja, dan bukan untuk belajar. Akh… tak heran mengapa jurusan-jurusan tertentu banyak diminati karena SEAKAN-AKAN menjanjikan lapangan pekerjaan nantinya. Maka produk pendidikan yang demikian hanya akan menjadikan bangku perkuliahan sebagai sarana mencari pekerjaan semata. Bukan lagi menjadi semboyang untuk menuntut ilmu (sampai ke negeri Cina).
“Ya bukan maksud abang mendoakan kamu tidak lulus, dek. Abang hanya berfikir kalau kamu seharusnya menuntut ilmu dengan baik. Bukan dengan motivasi bekerja. Abang selalu yakin bahwa orang pintar adalah orang yang dicari-cari dan bukan yang mencari. Maksud abang, kamu belajar di bangku kuliah adalah agar menjadi pribadi yang terdidik dan berkualitas. Dan masalah pekerjaan, yakinlah, jikalau kamu berkualitas maka lapangan pekerjaan yang mencarimu, dan bukan sebaliknya. Lagi pula, seorang yang malah bisa membuka kesempatan bagi orang lain dengan membuka lapangan pekerjaan bagi rekan-rekanmu nanti.
HAHAHA… apa yang kubicarakan ini??? Mungkin adik ini tak mengerti hal yang sedemikian rumit yang telah kukatakan padanya. Lagi pula, untuk rekan-rekan sejawatku pun, apa yang tadi kuutarakan masih saja ditanggapi gunjingan semata. Oalah…le…le… ngomong apa aku ini.
Beberapa waktu silam aku mendatangi rumah salah seorang rekanku dan menanyakan tentang adikknya yang masih duduk di bangku SMP. “Adikmu kok tak kelihatan bro?” tanyaku.
“Ya taulah kau anak zaman sekarang. Sore macam begini dia pergi les”
“Lah..? Pergi les? Emang gak cukup apa jam belajar yang udah begitu padat di sekolah, sampai ditambah les segala?”
“Yah begitu deh. Kalau gak les ntar kagak lulus UAN kan gawat”
“Lah…? Emang kalau les bisa memastikan dia bisa lulus UAN apa?”
“Nah begini logikanya bro”. Rekanku ini mulai menunjukan kewibawaan padaku dalam gerak-gerik selanjutnya. “Kalau yang ikut les aja gak pasti lulus UAN, apalagi yang kagak ikut les. Gitu loh bro. Nah elu sendiri aja kan dulu ikut les ya toh?”
“Iya, gua dulu ikut les ya karna cuma biar gaya aja. Karna zaman kita dulu kan les dianggap hanya untuk orang yang berduit lebih. Nah, gua mah dulu ikut les ya biar kagak kalah mentereng sama temen yang lain. Tapi jujur gua malahan seringan cabut dari pada les itu sendiri”
“Nah, zaman sekarang pola pemikiran tuh udah berubah. Les itu musti, kudu, wajib untuk anak sekolahan. Biar orang tuanya kere, tapi sampai bela-belain ikutin anaknya les biar nanti anaknya bisa lulus UAN”
OALAH… opo iki?!!! Sampai segitu besarnyakah pengorbanan orang tua demi kebaikan anak-anaknya? Atau sebegitu kuatirnyakah? Atau sebegitu bodoh?

Tapi segitu naif-nya kah suatu institusi pendidikan membiarkan paradigma yang seperti ini mendarah daging dalam masyarakat bangsaku ini?
Mungkin aku terlalu apriori, tapi beginikah cara dari sebagian banyak guru untuk meraup kesejahteraan mereka. Membiarkan paradigma di kepala murid dan orang tua bahwa “Les adalah jalan menghadapi kelulusan”. Mengapa hal ini sekan menjadi kewajaran?
Tapi aku masih punya pengharapan. Bahwa ada segelintir guru yang masih sedemikian gigih memberikan jiwa-raga-pemikiran bagi anak didiknya. Mengajar dengan kerelaan yang sebenarnya, mendidik tanpa menahan diri terhadap kehausan pendidikan yang ada di kerongkongan murid-muridnya, tanpa harus membentuk citra Les sebagai sarana pendidikan plus-plus-plus. Dan ku yakin di dalam guru yang demikian, merekalah guru yang berpengharapan juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar