Oleh : MOZA Robbani
Sejak awal didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tahun 1912, organisasi
Muhammadiyah telah dikonsentrasikan sebagai gerakan Islam dan da’wah amar
ma’ruf nahi munkar yang mengandung arti luas yakni mengajak manusia untuk
beragama Islam, meluruskan keislaman kaum muslim serta meningkatkan kualitas
kehidupan baik secara intelektual, sosial, ekonomi maupun politik. Dalam usaha
untuk memurnikan pengamalan ajaran Islam (purifikasi) sekaligus mengangkat
kehidupan umat, Muhammadiyah lebih berani menerapkan sekolah agama modern
dengan menerapkan metode rasional yang lebih menekankan pada pemahaman dan
penalaran ketimbang hafalan. Amal usaha yang ditangani organisasi ini kian lama
kian berkembang. Sekolah-sekolah (dari taman kanak-kanak sampai perguruan
tinggi), rumah sakit, dan poliklinik, berdiri tidak hanya di Jawa tetapi juga
di luar Jawa. Secara kuantitatif usaha yang dilakukan Muhammadiyah dalam bidang
pendidikan dan sosial memang cukup besar, namun secara kualitatif masih
dipertanyakan oleh para simpatisan dan warga Muhammadiyah.
Pendidikan Islam sudah
berlangsung di Indonesia
sejak lama. Dalam definisi yang agak longgar, pendidikan Islam bisa dikatakan
sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke wilayah ini. Hanya saja kegiatan
pendidikan Islam baru dianggap fenomenal dan mendapat perhatian serius dari
para sejarawan pada masa-masa jayanya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Pada
masa kerajaan-kerajaan Islam keberadaan dan maju mundurnya kegiatan pendidikan
Islam sepenuhnya tergantung pada struktur dan perhatian yang diberikan kerajaan
kepadanya. Namun demikian, dalam kenyataan terlihat jelas bahwa pendidikan
Islam memperoleh dukungan yang relatif baik dari para raja dan sultan muslim.
Hal ini terbukti dengan jumlah ilmuan muslim dan literatur yang mereka
tinggalkan sebagai khazanah klasik Islam Nusantara (Braginsky, 1998). Para ilmuwan Nusantara bahkan diketahui telah membangun
jaringan ilmiah yang berwatak kosmopolitan, melibatkan pusat-pusat kegiatan
ilmiah terkemuka di dunia Islam (Azra, 1994; Bruinessen, 1996).
Pada abad ke-20 –setelah melalui
proses panjang pembusukan sistem kerajaan Islam Nusantara dan jatuhnya wilayah
ini ke bawah kolonialisme bangsa-bangsa Barat– watak pendidikan Islam Indonesia
mengalami perubahan yang sangat signifikan. Memudarnya kerajaan secara langsung
turut menghancurkan sistem pendidikan tradisional; lalu keadaan ini diperburuk
pula oleh misi kolonialisme yang pada intinya tidak menghendaki majunya
pendidikan Islam. Hancurnya sistem politik dan lemahnya sistem sosial umat
Islam memaksa umat Islam mengorganisasikan pendidikan dalam unit-unit yang
lebih kecil dari masyarakat Islam.
Dengan kata lain, fragmentasi
sosio-politik mengakibatkan fragmentasi sistem pendidikan. Salah satu aspek
menarik dari keseluruhan proses ini adalah lahirnya sejumlah organisasi sosial
keagamaan –Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perti, Al-Jam’iyatul Washliyah,
Al-Irsyad, dan lain-lain– yang menjadikan pendidikan sebagai bagian penting
dari programnya.
Peranan dari
organisasi-organisasi ini dalam menggagas, melaksanakan, dan mengembangkan
kegiatan pendidikan Islam tidak saja telah berhasil memenuhi kebutuhan
pendidikan umat Islam Indonesia, tetapi lebih dari itu juga telah memainkan
peran yang lebih luas berdasarkan kondisi yang melingkupinya. Sejumlah
penelitian telah dilakukan oleh para ahli berkenaan dengan berbagai organisasi
ini (Steenbrink, 1974; Noer, 1988; Hasanuddin, 1988; Yunus, 1993; Daya, 1990).
Pada umumnya, para pengamat
menganggap bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang paling berhasil dalam
pengelolaan pendidikan. Organisasi ini biasanya dipandang mampu melakukan
pendefinisian peran yang senantiasa mengikuti perkembangan kedaan zaman. Oleh
karena itu, perkembangan internal yang terjadi dalam organisasi ini dalam
pengelolaan pendidikan Islam amatlah menarik untuk dijadikan sebagi fokus
perhatian.
Organisasi Muhammadiyah adalah
sebuah wadah sosial Islam tertua dan terbesar di Indonesia yang bergerak dalam
bidang sosial kemasyarakatan dan bercirikan Islam. Jangkauan anggota organisasi
ini secara geografis dan etnis sangat luas, bahkan saat ini Muhammadiyah tidak
hanya ada di wilayah Indonesia, tetapi juga terdapat di beberapa negara ASEAN,
meskipun hubungannya lebih bersifat aspiratif ketimbang instruktif (Azra,
1995).
Sejak awal berdirinya organisasi
ini telah dikonsentrasikan pada gerakan Islam secara substansial (Ma’arif,
1995:5) dan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung arti luas yakni
mengajak manusia untuk beragama Islam, meluruskan keislaman kaum muslim, serta
meningkatkan kualitas kehidupan mereka baik secara intelektual, sosial, ekonomi
maupun politik. Pengelolaan organisasi dilakukan secara modern. Dikatakan
modern karena proses regenerasi kepemimpinan berlaku secara berkesinambungan.
Selain itu, tidak terjadi proses kultus individu, yang memandang pimpinan
organisasi sebagai sosok individu yang paling sempurna.
Dalam AD-ART bab II pasal 3,
dinyatakan bahwa tujuan didirikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan
makmur yang diridhoi Allah SWT, dalam usahanya untuk memurnikan pengamalan
ajaran Islam (purifikasi) dan sekaligus mengangkat kehidupan umat. Muhammadiyah
berani menerapkan sistem sekolah agama modern yang menerapkan metode rasional
dan lebih menekankan pada pemahaman dan penalaran ketimbang hafalan. Sistem ini
sangat berbeda dengan sistem pengajaran yang berkembang pada masa didirikannya
organisasi ini (Lapidus, 1989:76). Muhammadiyah sering dikatakan hanya
melakukan adopsi pendidikan Barat tanpa mengkaji "secara serius aspek filsafat
pendidikan yang mendasarinya." Padahal pendidikan Barat yang diterapkan
Belanda tidak dapat dipisahkan dari kegiatan misionaris (Steenbrink,
1995:22-23), atau lebih mendasarkan pada nilai pragmatis, artinya cocok dan
mudah dipahami oleh masyarakat urban, misalnya salat tarawih delapan rakaat,
dan sebagainya yang kadang menimbulkan masalah baru dan tidak kalah pelik dan
kompleks. Dengan alasan ini kemudian para cendekiawan menyebut Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid (pembaharu), modernis, dan sejenisnya (Benda, 1980:70).
Jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ini semakin diperkuat dengan
jargon-jargonnya seperti ijtihad, tidak bermazhab, kembali kepada al-Quran dan
al-Hadits, dan sebagainya.
Pada periode awal kebangkitan,
Muhammadiyah telah berhasil menjalankan misinya. Banyak data dan fakta yang
diajukan untuk mendukung hal ini. Bahkan, dengan gerakan purifikasinya,
Muhammadiyah sering dituduh oleh kelompok lain yang tidak sepaham sebagai
gerakan "kaum wahabi Indonesia ."
Dalam dinamika proses kelahirannya,
Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharu atau tajdid, terlebih dari aspek
purifikasinya. Setidaknya dalam ukuran tertentu Muhammadiyah telah
mengembangkan misi ganda. Pertama, misi purifikasi, yaitu mengembalikan semua
bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman Islam, dengan membentengi
keyakinan aqidah Islam serta berbagai bentuk ritual tertentu dari pengaruh
sesat. Kedua, dengan landasan universalitas ajaran Islam sesuai dengan
tantangan perkembangan kehidupan, terutama pada ajaran yang berkaitan dengan
nonibadah, seperti aktivitas yang bersumber dasar ajaran Islam dan hanya
memberikan prinsip-prinsip bersifat global.
Namun, pada era belakangan ini
khususnya dua dasa warsa terakhir banyak kalangan, termasuk para pendukungnya,
yang kritis mempertanyakan kembali gelar tajdid yang dilakukan Muhammadiyah.
Mereka menilai Muhammadiyah mulai dan sudah kehilangan elan-tajdidnya, bahkan
secara lantang mereka mengatakan Muhammadiyah mandul dan mengalami stagnasi
dalam pemikiran (Karim, 1986:34).
Sikap skeptisisme ini muncul
karena Muhammadiyah telah terjebak pada keraguan yang lebih berkaitan pada
ketadjdidan pengembangan pemikiran Islam, terlebih pemikiran Islam yang khas Indonesia .
Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1995:3), akar kejumudan terletak pada doktrin
atau konsep teologi yang semakin dipertanyakan relevansinya di tengah
masyarakat pascamodern yang sedang mengalami kegundahan keagamaan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk
mendiskusikan Muhammadiyah dalam aspek gerakannya yang luas, namun lebih
memfokuskan pada salah satu aspek gerakan pembaharuan Muhammadiyah yakni
gerakan di bidang pendidikan. Bahkan, gerakan dalam pendidikan merupakan
komitmen utama Muhammadiyah untuk melakukan pembaharuan dalam segala aspek.
2. Pembahasan
2.1. Kelahiran Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu
organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II
hingga sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta tanggal 18 November
1912, atas saran murid-muridnya dan beberapa orang yang tergabung dalam Budi
Utomo, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, anak Kyai Haji Abubakar bin Kyai Sulaiman
(Khatib Mesjid Sultan) dan ibunya anak Haji Ibrahim, penghulu.
Setelah menyelesaikan pendidikan
dasarnya dalam nahu, fiqh, dan tafsir di Yogyakarta
dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 selama setahun. Salah seorang
gurunya di Mekkah adalah Syeikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia kembali
mengunjungi Tanah suci selama dua tahun.
Untuk mencapai tujuan organisasi
Muhammadiyah, didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan dengan mengintensifkan
pelaksanaan dakwah yang lebih mengutamakan aspek-aspek Islam, mendirikan
institusi wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, majalah, dan
surat kabar, serta lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah yang terutama
bertujuan "menyebarkan pengajaran kanjeng nabi Muhammad SAW kepada
penduduk bumi putera" dan "memajukan agama Islam."
Dengan sikap toleran dan
pengabdian yang sungguh-sungguh dan kemauan yang tinggi, organisasi ini
berkembang dan tumbuh dengan cepat dan terorganisir secara rapi. Pada tahun
1925, organisasi ini telah mempunyai 29 cabang dengan 4.000 anggota. Kegiatan
dalam bidang pendidikan meliputi delapan Hollands Inlandse School (HIS), satu
sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun, satu Schakelschool, 14 madrasah,
yang jumlah guru seluruhnya mencapai 119 orang sedang muridnya mencapai 4.000
orang. Dalam bidang sosial, organisasi ini memiliki klinik di Yogyakarta dan Surabaya dan sekitar
12.000 pasien telah memperoleh pengobatan; satu rumah miskin dan dua rumah
Yatim Piatu. Sedangkan bagian publikasi telah menerbitkan sejumlah 700.000 buku
dan brosur (Deliar Noer, 1993:191-194)
Di samping ide pemikiran Ahmad
Dahlan, lahirnya Muhammadiyah sebagai manifestasi dari keinginan umat Islam
saat itu untuk mewujudkan keyakinan akan kebenaran dan ketinggian Islam dengan
tujuan utamanya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil al-‘amin atau
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Lahirnya pemikiran modern
organisasi ini di awal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dengan situasi dan
kondisi sosial, politik yang dihadapi umat Islam saat itu (Lubis, 1987:13).
Kondisi sosial politik kala itu, di mana umat Islam berada dalam cengkraman
kolonial, sebagai faktor eksternal mendorong munculnya organisasi ini. Faktor internal
yang ikut mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah sikap keberagamaan umat Islam
kala itu yang dinilai sangat sinkretis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha
dalam menjalankan ibadah ritual serta rendahnya partisipasi umat Islam dalam
pendidikan.
Selain sikap keberagamaan umat
Islam pada saat itu yang masih belum rasional, menyebabkan banyak ajaran Islam
dicampuradukkan dengan syirik, khurafat, bid’ah, dan taqlid. Sikap ini
disebabkan oleh besarnya pengaruh kepercayaan dan keyakinan Hindu dan animisme
dalam kehidupan masyarakat, selain akibat dari proses Islamisasi yang berbau
sufisme atau mistisisme dan paham tarekat. Pemahaman ini akibat kedangkalan
berpikir umat Islam yang hanya cenderung mengikuti salah satu mazhab. Sistem
pendidikan yang lebih menekankan pada kemampuan mengaji bukan mengkaji
(penalaran) sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional yang kurang
rasional.
Gencarnya gerakan westernisasi
kala itu, yang sengaja memperkenalkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang
sekuler tanpa diimbangi dengan pendidikan agama oleh pemerintah Belanda,
membuat KH Ahmad Dahlan merasa gerang dan berfikir bahwa salah satu wadah yang
tepat untuk menangkal gerakan tersebut adalah dengan cara mendirikan
Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan beranggapan bahwa gerakan westernisasi tersebut
merupakan ancaman umat Islam terbesar di awal abad ke-20.
Pemikiran Muhammadiyah
Pemikiran Muhammadiyah
Pemahaman tentang ide pemikiran
dan amal usaha Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan tokoh pendirinya,
sebab pandangan pendiri tersebut hingga saat ini tetap dijadikan sebagai
gerakan pola dasar pengembangan Muhammadiyah. Terdapat sepuluh konsep pemikiran
KH Ahmad Dahlan yang oleh R.H. Hajid dirangkum menjadi tujuh kerangka pemikiran
yaitu: Pertama, ulama adalah orang yang berilmu dan hatinya hidup (kreatif)
serta mengembangkan ilmunya dengan ihklas. Kedua, untuk mencari kebenaran,
orang tidak boleh merasa benar sendiri. Ketiga, bersedia mengubah pikiran
dengan sikap dan hati terbuka. Keempat, dalam mencapai tujuan hidup, manusia
harus bekerja sama dengan menggunakan akal. Kelima, cara mengambil keputusan
yang benar harus bersedia mendengar dan mempertimbangkan akhlaq. Keenam, berani
mengorbankan harta milik untuk membela kebenaran. Ketujuh, mempelajari teori
dan keterampilan dengan bertahap. Konsep pemikiran tersebut didasarkan (Q.S.
Al-Ma’un 1-7 dan Al-Anfal: 24).
Berdasarkan pendangan di atas
Muhammadiyah sebagai gerakan da’wah dan tajdid yang identik dengan gerakan
Islam, berusaha menghidupkan akal pikiran umat Islam, serta membangun kemampuan
profesional bagi umat Islam untuk meraih kebahagiaan jasmani dan rohani
(Mulkan, 1990:43). Karena itu, gerakan Muhammadiyah harus dipahami dari dua
segi. Pertama, berciri atau bersifat Islam seperti kedisiplinan, gigih, tidak
mudah frustasi, dan kreatif. Kedua, mementingkan ukhuwah Islamiyah, dan harus
menjaga dan menggerakkan Islam sebagai gerakan yang dinamis yang tidak saja
untuk kepentingan warga Muhammadiyah tetapi berfungsi sebagai rahmatan
lil’alamin.
Perkembangan organisasi
Titik awal perkembangan
Muhammadiyah adalah ketika KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai Khatib di kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1896 ketika berumur 28 tahun untuk menggantikan
ayahandanya. Tahun 1898 KH Ahmad Dahlan mempelopori Musyawarah Alim Ulama
Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut KH Ahmad Dahlan menawarkan ide agar arah
kiblat mesjid besar Yogyakarta diubah sesuai
perhitungan ilmu falaq. Namun, ide tersebut ditentang oleh para ulama lain.
Sejak itu KH. Ahmad Dahlan mendirikan surau di samping tempat tinggalnya dengan
arah kiblat dicocokkan dengan perhitungan ilmu falaq.
Tahun 1909 KH Ahmad Dahlan masuk
ke organisasi Budi Oetomo dengan maksud untuk memperlancar da’wah kepada
anggota Budi Oetomo dan siswa yang belajar di sekolah Belanda. Pengaruh KH
Ahmad Dahlan dalam organisasi Budi Oetomo inilah yang kemudian mendapat
rekomendasi dari Budi Oetomo untuk mendirikan Muhammadiyah 1912 yang disahkan
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1914.
Setelah Muhammadiyah mendapat
rekomendasi, ruang gerak organisasi ini meliputi seluruh wilayah Jawa. Setahun
kemudian ia meliputi seluruh Wilayah Hindia Belanda. Perluasan ini dimanfaatkan
untuk mendirikan perkumpulan Kaum Ibu yang diberi nama "Sapatresna"
tahun 1914, yang dipimpin langsung oleh isteri Kyai Ahmad Dahlan (Siti
Walidah). Tahun 1920, perkumpulan ini berubah menjadi "Aisyiyah", dan
pada tahun 1922 menjadi organisasi otonom.
Tahun 1918 didirikan sekolah baru
bernama "Al-Qin Al-Arqa". Dua tahun kemudian dari sekolah ini
didirikan Pondok Muhammadiyah di Kauman. Pada tahun 1923 Muhammadiyah telah
berhasil mendirikan 8 jenis sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 1019 yang
diasuh oleh 73 orang guru.
Tahun 1921 Muhammadiyah
mendirikan sebuah wadah yang memusatkan perhatiannya untuk mempermudah
pelaksanaan ibadah haji. Berdirinya wadah ini memberikan inspirasi munculnya
Direktorat Pembinaan Urusan Haji Departemen Agama.
Setiap perkembangan Muhammadiyah
selalu diiringi oleh perkembangan amal usahanya. Usaha mula-mula dilakukan
dengan mendirikan sekolah serta menyelenggarakan pengajian Islam. Selanjutnya,
di bidang kesejahteraan ekonomi, kesehatan, dan kajian hukum Islam. Usaha-usaha
tersebut melahirkan Rumah Sakit, Rumah Yatim Piatu, Rumah Miskin, Rumah Jompo,
Majelis Tarjih, Majelis Pembina Kesejahteraan Umut (PKU), Majelis Ekonomi,
Majelis Kehartaan, dan Wakaf tahun 1926.
Penyempurnaan amal usaha terlihat
sejak dibentuk Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU), tabligh, taman
pustaka, yayasan dan Aisyiyah, serta pemuda. Bagian-bagian tersebut
masing-masing membidangi unit-unit kerja tertentu sesuai dengan misi kinerja
yang akan dikembangkan.
Tahun 1927, misalnya bidang
Majelis Ekonomi ditetapkan akan membentuk Bank Muhammadiyah, meskipun hingga
sekarang belum mampu direalisir. Tahun 1929 melalui Taman Pustaka dibentuk Badan
Penerbitan Buku dan Komisi Sekolah, serta mendirikan rumah pertolongan di
setiap daerah. Tahun 1930 dibentuk Consul HB (Hoofd Bestuur)
sebagai koordinator Muhammadiyah Pusat di daerah-daerah yang kemudian menjadi
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
Pada kongres ke-21 tahun 1932
dibentuk badan penerbitan sebuah harian. Badan penerbit ini melahirkan Harian
Adil di Solo dan kemudian Majalah Remaja sebagai majalah Pemuda Muhammadiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1936
dibentuk Badan Majelis Pertolongan dan Kesehatan. Setahun kemudian, dibentuk
Komisi Kesehatan Muhammadiyah yang mulai menyebar ke seluruh daerah sekitar
tahun 1938.
Tahun 1939 dibentuk Majelis Wakaf
dan kehartabendaan, serta Majelis Tanwir (musyawarah) yang terdiri dari
pengurus wilayah Muhammadiyah sebagai suatu lembaga di bawah muktamar atau
kongres.
Dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia ,
warga Muhammadiyah pernah beramai-ramai memberikan dukungan terhadap Partai
Serikat Islam. Tokoh-tokoh Muhammadiyah pernah menjadi anggota istimewa
Masyumi, yang ikut serta melahirkan Partai Muslimin Indonesia . Keterlibatan tokoh-tokoh
Muhammadiyah terhadap salah satu Partai politik tidak pernah dilakukan secara
resmi atau secara organisatoris, hanya sebatas berkeinginan untuk menyalurkan
aspirasi Muhammadiyah terhadap salah satu wadah. Namun, tokoh-tokoh
Muhammadiyah yang terlibat dalam aktivitas partai merasa kecewa, lantaran
partai-partai politik tidak bisa dijadikan sarana menyalurkan aspirasi
Muhammadiyah, hingga tokoh-tokoh tersebut keluar dari partai politik, baik
secara individu atau kelompok. Meskipun tokoh-tokoh Muhammadiyah telah keluar
dari salah satu Partai Politik, namun secara organisatoris Muhammadiyah tetap
memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya,
sesuai dengan panggilan nurani masing-masing. Bahkan, Muhammadiyah pernah
memberikan kebebasan kepada warganya untuk memilih partai yang tidak berasaskan
Islam.
Demikian sekilas perkembangan
Muhammadiyah baik selama dalam kepemimpinan KH Ahmad Dahlan maupun sesudahnya,
hingga dilakukan pembaharuan organisasi tahun 1960, baik secara vertikal maupun
harizontal. Pembaharuan secara vertikal terkait dengan pembenahan struktur
dengan pembentukan jaringan tradisional mulai tingkat pusat sampai tingkat
ranting. Secara harizontal pembaharuan mencakup pertumbuhan jumlah amal usaha
Muhammadiyah yang berkembang secara cepat dan maju, (Arifin, 1996:258).
Amal usaha dalam bidang pendidikan
Kehadiran Muhammadiyah
dimaksudkan untuk menangani semua aspek kehidupan sosial, sesuai dengan kemampuan
dan problem yang dihadapinya. Pada awal berdiri, Muhammadiyah menitikberatkan
pada usaha dakwah melalui tabligh, pengajian, pendidikan, dan pembinaan
keluarga Muslim yang hanya mencakup wilayah Residensi Yogyakarta, kemudian
berkembang meliputi seluruh Jawa dan seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda,
bahkan akhirnya diperluas wilayahnya ke berbagai daerah.
Demikian halnya amal usaha yang
ditangani kian lama menjadi berkembang secara pesat dan cepat seiring dengan
tuntutan dan perkembangan zaman. Dalam mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan
umat Islam, Muhammadiyah menempuh tiga proses, yakni ta’lim, tarbiyah,
dan ta’dib. Ta’lim berusaha mencerdaskan otak manusia, tarbiyah
mendidik perilaku yang benar, sedangkan ta’dib memperhalus adab
kesopanan. Secara teoritis, seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah berusaha
menggelindingkan pencerahan tiga dimensi itu sekaligus, berdasarkan wawasan
keislaman (Rais, 1996).
Gerakan di bidang pendidikan
semakin gencar dilakukan setelah Muktamar ke-41 di Surakarta diadakan perubahan
Anggaran Dasar pasal 4 yang berisi tentang ruang lingkup amal usaha
Muhammadiyah yang meliputi: pengembangan penyelidikan nilai dan hukum Islam
(tarjih) serta pengembangan pendidikan dan kebudayaan, tabligh, tolong
menolong, kepustakaan, penertiban wakaf, kepemudaan, kewanitaan, dan
kesejahteraan hidup anggota (ekonomi).
Pada dasarnya, kegiatan di bidang
pendidikan sudah dimulai sejak awal berdirinya, berkaitan dengan amal usaha
lainnya. Tahun 1929 jumlah rumah sekolah yang didirikan oleh Muhamamdiyah di
wilayah Yogyakarta, Surakarta , dan Jakarta sudah mencapai
126 buah. Selain itu, sejumlah balai pengobatan (poliklinik) di kota-kota
Yagya, Surabaya, dan Malang telah mengobati sebanyak 81.000 orang pasien
(Karim, 1986:123).
Mengenai usaha di bidang
pendidikan, Shodiq T. Sutaikrama, sebagaimana dikutip Rusli Karim, menyatakan
bahwa sektor usaha pendidikannya menghadirkan 13.201 sekolah mulai jenjang
Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Menanggapi perkembangan secara
kelembagaan ini, patut disyukuri karena Muhammadiyah telah memiliki amal usaha
yang cukup banyak. Selain memiliki lembaga pendidikan, juga memiliki sekitar
215 Rumah Sakit dan Poliklinik.
Secara kuantatif, usaha di bidang
pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah memang cukup besar dan membanggakan,
namun secara kualitatif masih dipertanyakan oleh para simpatisan dan warga
Muhammadiyah dengan melakukan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan
di semua jenjang pendidikan. Berdasarkan hasil evaluasi, lahirlah beberapa sekolah
Muhammadiyah unggulan sebagai jerih payah pengurus Muhammadiyah dan pengelola
sekolah yang dimotivasi oleh munculnya rasa ketidakpuasan dalam arti positif
yakni keinginan untuk maju dan terus maju.
Dunia pendidikan menjadi salah
satu konsentrasi pengembangan misi Muhammadiyah yang sistem pengajarannya
berpolakan sistem sekolah negeri. Sistem pendidikan dan pengajaran tersebut
bukan dimaksudkan untuk menciptakan sendiri suatu sistem pendidikan Islam,
melainkan untuk mengorganisir sistem pendidikan swasta yang sejajar dengan
sistem nasional. (Arifin, 1996:270)
Memang sejak awal kelahirannya,
Muhammadiyah cenderung menyesuaikan dengan sistem pendidikan kolonial sekalipun
hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan dan bukan dalam materi atau
isi serta tujuan pendidikannya. Dalam analisis terhadap gerakan-gerakan
pendidikan Islam di Indonesia yang muncul pada setengah abad pertama abad ke-20
dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah dan Abdullah Ahmad di Minangkabau sebagai
gerakan yang bersifat akomodatif, sedangkan gerakan-gerakan seperti Persatuan
Islam (Persis), NU, PUI, Jam’iyatul Wasliyah dan Perti lebih bersifat
asimilatif (Langgulung, 1988:69). Kemudian, Muhammadiyah juga mendirikan
sekolah-sekolah yang mirip dengan pesantren, yang dapat digolongkan assimilatif.
Pada dasarnya reorientasi
kelembagaan dan reorientasi tujuan pengajaran Muhamamdyah didasarkan pada
perkembangan dan tuntutan yang muncul untuk melakukan pembaharuan.
Kontekstualisasi pengajaran tersebut diharapkan agar secara kualitatif
pendidikan yang dikelolah oleh Muhammadiyah dapat dipertanggung jawabkan.
Amal usaha Muhammadiyah dalam
bidang pendidikan generasi muda selain melalui pendidikan dan pengajaran baik
yang dilakukan secara formal maupun informal, juga dibentuk suatu wadah
kegiatan pemuda yang disebut Hisbul Wathan. Wadah ini disiapkan untuk
menyalurkan potensi dan aspirasi di kalangan generasi muda Muhammadiyah yang
kemudian diubah menjadi kegiatan "Pramuka". Munculnya wadah atau
organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Pemuda Muhammadiyah, dan sejenisnya, yang merupakan wujud nyata dari
perkembangan usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
Munculnya beberapa wadah pelajar
dan kepemudaan tersebut menampakkan ikatan emosional kemuhammadiyahan, juga
sebagai agen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan sekaligus
perubahan yang dimungkinkan akan terjadi sebagai reaksi terhadap perkembangan
dan tuntutan zaman. Secara organisatoris dan sebagai wujud nyata atas
perkembangan Muhammadiyah, organisasi-organisasi tersebut menjadikan
Muhammadiyah lebih mapan.
Namun, banyak kritik yang
dilakukan oleh para cendekiawan baik di lingkungan Muhammadiyah maupun
simpatisan terhadap keadaan Muhammadiyah dewasa ini. Kritik tersebut adalah
sebagai berikut. Bahwa secara kuantitas Muhammadiyah terus berkembang, namun
kurang diimbangi oleh kemampuan kualitas, dan sebagai akibat merosotnya
keterlibatan kaum intelektual di kalangan Muhammadiyah, maka terjadi semacam
alienasi kaum intelektualnya. Selain daripada itu, gerakan Muhammadiyah
cendrung terjebak pada kegiatan rutin, sehingga kurang kreatif dan inovatif.
Terlepas benar tidaknya, kritik
tersebut harus diterima secara lapang dada. Sikap keterbukaan tersebut pada
akhirnya akan membawa Muhammadiyah ke ujung kemajuan, jika kritik dimaksud
ditanggapi secara rendah hati untuk memperbaiki diri. Kritik yang sama
dikemukakan oleh AR Fachrudin, bahwa Muhammadiyah masih kekurangan kader ulama,
muballigh, petugas sosial, jurnalistik, pustakawan, ekonom, manajer, cendekiawan,
kebudayaan dan sebagainya (Sujarwanto, 1980:381).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar