By Robi Kurniawan
Senang, bahagia dan terharu adalah sikap lumrah dalam hidup ini. Karena
hasil puncak yang dicapai setelah perjalanan panjang yaitu keberhasilan.
Dan keberhasilan itu akan berarti jika dirayakan bahkan dipestakan.
Euforia adalah manifestasi keberhasilan sehingga banyak orang melakukan
berbagai cara dan mungkin menyalahi norma-norma agama demi merayakan
keberhasilan itu. Inilah yang sedang menjangkit di tengah generasi kita
saat ini. Khususnya di kalangan anak didik. Ketika pengumuman kelulusan
UN disampaikan dan nama-nama dibacakan saat itu juga dunia dan isinya
rasa milik dia. Tanpa pikir panjang longmarch alias konvoipun
berkumandang sambil melantunkan yel-yel kelulusan sehingga jalan raya
macet seolah segerombolan gembalaan domba sedang melintas. Bahkan
bubuhan tanda tangan dan semprotan cat pilot di baju seragam yang masih
layak pakai pun menjadi korban
Gimana yang tidak lulus? tidak perlu dicemaskan merekapun ikut merasakan euforia itu meskipun dihantui dengan ujian paket..ah yang penting pasti dapat ijazah..Itulah salah satu potret pendidikan di negeri tercinta yang perlu diratapi. Ternyata euforia itu adalah racun. Bisa meracuni keyakinan dan etika anak didik kita. Mungkin kita juga pernah mendengar ada sebagian anak didik melakukan pesta sek menyambut kelulus itu. Euforia meluas menjadi hypereuforia.
Gimana yang tidak lulus? tidak perlu dicemaskan merekapun ikut merasakan euforia itu meskipun dihantui dengan ujian paket..ah yang penting pasti dapat ijazah..Itulah salah satu potret pendidikan di negeri tercinta yang perlu diratapi. Ternyata euforia itu adalah racun. Bisa meracuni keyakinan dan etika anak didik kita. Mungkin kita juga pernah mendengar ada sebagian anak didik melakukan pesta sek menyambut kelulus itu. Euforia meluas menjadi hypereuforia.
Perlukah itu semua? tentu jawabannya sangat tidak perlu sekali dan tentu
termasuk perbuatan jahilliyah pintar tapi tidak beradab. Rasa syukur
dan sujud syukur kepada Tuhan itulah yang tepat dan harus ditanamkan
kepada anak didik kita ketika mereka mengekpresikan itu semua.
Pantaskah itu dilakukan? sungguh tidak pantas sekali. Belum tentu
keberhasilan itu adalah usaha dan upaya yang murni seratus persen dari
kepandaian anak didik dalam menjawab pelajaran yang diujikan. Bukankah
60 % dari UN dan 40 % nilai raport sekolah termasuk hal yang fenomenal
dan manipulatif. Sungguh banyak sekolah melakukan perbaikan nilai raport
anak yang sepantas tidak naik. Bahkan meninggikan nilai non pelajaran
UN dianggap terpuji sehingga mencapai angka sembilan. Mencuatlah term
"kapan kita bisa membantu anak lagi ?" inilah saatnya ". Bangga
kelulusan 100 % berarti bangga dengan dosa. Ironisnya instansi
pemerintahpun membisu seolah mereka juga ikut bereuforia karena anak
mereka lulus. Ini bukan kualitas tapi formalitas, bangga dengan
kuantitas semenetara kualitas terkandas.
Patutkah kita bangga dengan sekolah dan pemerintah yang berkualitas? so
pasti dong..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar