Perspektif Surah Lukman Untuk Pendidikan Islam
By Robi Kurniawan, MA
Di antara surah dalam alquran yang diambil dari nama seseorang yang
bijaksana adalah Lukman Hakim.Surah ke-31 ini menceritakan seorang ayah
sekaligus pendidik berusaha menasihati anaknya melalui
kebijakan-kebijakan yang luar biasa. Sehingga dia menjadi referensi bagi
para orang tua bagaimana mendidik anak dengan baik. Siapakah Lukman Hakim itu ?
Dalam buku berjudul "Lukmanul Hakim, kepribadian dan Mutiara Hikmahnya"
Ali bin Hasan bin Abdullah bin Hasan bin Umar Al-Athas menuliskan tentang
asal-usul Lukmanul Hakim dari berbagai versi yang mana satu sama lain
berbeda pendapat tentang asal-usul Lukmanul Hakim (http://www.duriyat.or.id/artikel/mutiara1.htm).
Ibnu Ishak berpendapat bahwa Lukmanul Hakim adalah Lukman bin Baura bin
Nahur bin Tariha sedangkan Tariha adalah Azar, ayah Ibrahim as.
Assuhaaily
bahawa Lukmanul Hakim adalah putra Unga bin Sarun dari penduduk Aylah
Palestina .
Wahab mempunyai pendapat lain, bahwa Lukmanul Hakim itu putra saudari Ayyub as. Tetapi menurut pendapat yang dinukil dari Muqotil beliau adalah putra Ayyub as. Konon Lukmanul Hakim hidup selama seribu tahun semasa dengan Dawud as. Sebelum Dawud as di utus Lukmanul Hakim memberi fatwa kepada manusia, namun setelah Dawud as diutus, beliau tidak lagi memberikan fatwa. Waqidi berpendapat bahwa Lukmanul Hakim itu adalah sebagai Qadhi ( hakim ) di kalangan Bani Israil. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Lukmanul Hakim itu hamba sahaya (budak) dari negri Habsyi ( Ethiopia ). Ibnu Abil Qosim meriwayatkan dari Abdullah bin Az-zubair, katanya: "Aku bertanya kepada Jabir bin Abdillah, apa yang engkau ketahui tentang Lukman?. ia menjawab "Beliau adalah orang yang berbadan pendek, berhidung pesek dari negri Negro". Lukmanul hakim bekerja sebagai tukang jahit. Ada yang berpendapat beliau adalah tukang kayu. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Lukman itu adalah sebagai pengembala kambing. Ada suatu riwayat mengatakan bahwa beliau berjumpa dengan seseorang, ketika beliau mengucapkan kata-kata hikmah lalu orang tersebut bertanya: "Bukanlah engkau itu sebagai tukang kambing ? "Beliau menjawab; "Benar saya pengembala kambing." Orang tersebut melanjutkan pertanyaannya; "Bagaimana engkau dapat mencapai apa yang engkau capai kini? "Beliau menjawab: "1. Dengan bicara yang benar, 2. Menunaikan amanah, 3. Meninggalkan sesuatu yang ada manfaatnya. 4. Setia kepada janji". Sebagian para ahli berpendapat bahwa Lukmanul Hakim itu seorang arif budiman, bukan seorang nabi. Imam An-Nawawi dalam kitab al-Adzar menulis, bahwa Lukman dan Maryam bukanlah nabi. Sebenarnya kedua-duanya itu adalah tergolong sebagai Shiddiqin. Konon beliau disuruh memilih antara kenabian dan hikmah lantas beliau memilih hikmah. Diriwayatkan bahwa Jibril as ketika menyuruh Lukmanul Hakim untuk memilih antara kenabian dan hikmah, maka beliau memilih hikmah. Seraya Jibril mengusap dada Lukman Hakim dengan sayapnya, lalu Lukman Hakim berbicara dengan mutiara hikmah "Ketika Jibril berpamitan ia berbicara kepada Lukmanul Hakim" Aku berwasiat kepadamu dengan wasiat, maka jagalah wasiatku ini, wahai Lukman :"Sekiranya engkau masukan tanganmu sampai sakumu kedalam mulut ular besar, maka hal itu lebih baik bagimu daripada engkau meminta-minta seorang fakir yang merasa kaya." Lukman mempunyai putra bernama Taran sebagaimana dikemukakan oleh Ath-Thabari, juga ada yang mengatakan Tsaran atau An um atau Masykum. Ada yang mengatakan bahawa putra Lukman itu seorang kafir yang musyirik. Oleh karena itu Lukman selalu tak henti-henti memberi nasihat shingga ia memeluk agama Islam
Wahab mempunyai pendapat lain, bahwa Lukmanul Hakim itu putra saudari Ayyub as. Tetapi menurut pendapat yang dinukil dari Muqotil beliau adalah putra Ayyub as. Konon Lukmanul Hakim hidup selama seribu tahun semasa dengan Dawud as. Sebelum Dawud as di utus Lukmanul Hakim memberi fatwa kepada manusia, namun setelah Dawud as diutus, beliau tidak lagi memberikan fatwa. Waqidi berpendapat bahwa Lukmanul Hakim itu adalah sebagai Qadhi ( hakim ) di kalangan Bani Israil. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Lukmanul Hakim itu hamba sahaya (budak) dari negri Habsyi ( Ethiopia ). Ibnu Abil Qosim meriwayatkan dari Abdullah bin Az-zubair, katanya: "Aku bertanya kepada Jabir bin Abdillah, apa yang engkau ketahui tentang Lukman?. ia menjawab "Beliau adalah orang yang berbadan pendek, berhidung pesek dari negri Negro". Lukmanul hakim bekerja sebagai tukang jahit. Ada yang berpendapat beliau adalah tukang kayu. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Lukman itu adalah sebagai pengembala kambing. Ada suatu riwayat mengatakan bahwa beliau berjumpa dengan seseorang, ketika beliau mengucapkan kata-kata hikmah lalu orang tersebut bertanya: "Bukanlah engkau itu sebagai tukang kambing ? "Beliau menjawab; "Benar saya pengembala kambing." Orang tersebut melanjutkan pertanyaannya; "Bagaimana engkau dapat mencapai apa yang engkau capai kini? "Beliau menjawab: "1. Dengan bicara yang benar, 2. Menunaikan amanah, 3. Meninggalkan sesuatu yang ada manfaatnya. 4. Setia kepada janji". Sebagian para ahli berpendapat bahwa Lukmanul Hakim itu seorang arif budiman, bukan seorang nabi. Imam An-Nawawi dalam kitab al-Adzar menulis, bahwa Lukman dan Maryam bukanlah nabi. Sebenarnya kedua-duanya itu adalah tergolong sebagai Shiddiqin. Konon beliau disuruh memilih antara kenabian dan hikmah lantas beliau memilih hikmah. Diriwayatkan bahwa Jibril as ketika menyuruh Lukmanul Hakim untuk memilih antara kenabian dan hikmah, maka beliau memilih hikmah. Seraya Jibril mengusap dada Lukman Hakim dengan sayapnya, lalu Lukman Hakim berbicara dengan mutiara hikmah "Ketika Jibril berpamitan ia berbicara kepada Lukmanul Hakim" Aku berwasiat kepadamu dengan wasiat, maka jagalah wasiatku ini, wahai Lukman :"Sekiranya engkau masukan tanganmu sampai sakumu kedalam mulut ular besar, maka hal itu lebih baik bagimu daripada engkau meminta-minta seorang fakir yang merasa kaya." Lukman mempunyai putra bernama Taran sebagaimana dikemukakan oleh Ath-Thabari, juga ada yang mengatakan Tsaran atau An um atau Masykum. Ada yang mengatakan bahawa putra Lukman itu seorang kafir yang musyirik. Oleh karena itu Lukman selalu tak henti-henti memberi nasihat shingga ia memeluk agama Islam
PESAN MORAL LUQMAN AL-HAKIM
DAN KORELASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Setidaknya ada empat pesan moral yang disampaikan dalam surah lukman ini
sebagai pegangan bagi orang tua sekaligus pendidik:
1. MENANAMKAN AQIDAH PADA ANAK
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ
بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi
pelajaran kepadanya, “Anakku sayang, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)
Redaksi ayat di atas berbicara tentang nasihat Luqman kepada putranya
yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik. Kata ya’izhu
terambil dari kata wa’zh yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan
dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai
ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penggunaan kata ini,
memberikan gambaran tentang bagaimana perkataan atau nasihat itu beliau
sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana
dipahami dari panggilan mesranya kepada anak.[9] Kata ini juga
mengisyaratkan bahwa nasehat itu dilakukannya dari saat kesaat,
sebagaimana dipahami dari redaksi kata kerja ya’izhu yang mengambil
bentuk fi’il mudhari’ yang menunjukkan makna rutinitas (li ad-dawam).
Kata bunayya (anakku) dalam bentuk tasghir (pemungilan) dari kata ibny,
mengisyaratkan sebutan atau ungkapan kasih sayang. Jadi bunayya disini
dapat diterjemahkan dengan ungkapan ”anakku sayang”. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa ayat diatas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya
didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik begitupun
pendidik hendaknya senantiasa memberikan nasihat yang baik setiap saat.
Lukman memulai nasehatnya dengan menekankan perlunya menghindari
syirik/mempersekutukan Allah. Isyarat ini terlihat ketika Luqman
menggambarkan syirik sebagai ”kezaholiman yang besar”. Isyarat ini dapat
dipahami dari penyebutan kata (zhulmun azhim) yang dirangkai dengan lam
at-tawkid. Kesan lain yang dapat diambil dari penggunaan redaksi pesan
yang menggunakan fi’il nahi (bentuk larangan), yakni ”janganlah kamu
mempersekutukan Allah” menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu yang buruk
lebih layak didahulukan sebelum melaksanakan yang baik.
Menurut M. Ali ash-Shabuni, perbuatan syirik merupakan sesuatu yang
buruk dan tindak kezhaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang
menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang
tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang paling
bodoh. Sebab, perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari akal sehat dan
hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat zalim; bahkan pantas
disetarakan dengan binatang.[10] Dengan demikian menghindarkan anak dari
syirik dengan memberikan pemahaman kepada mereka tentang syirik pada
hakikatnya adalah menjauhkan mereka terjatuh dalam kezaliman dan
kebodohan yang terbesar.
Larangan syirik pada dasarnya merupakan pengajaran tentang tauhid.
Perlunya tauhid diajarkan pada anak sedini mungkin adalah agar ia tumbuh
dengan kejernihan pikiran dan kekuatan iman sesuai dengan fithrah yang
Allah berikan padanya sejak lahir. Jadi, pendidikan tauhid usia dini
pada hakikatnya adalah melanjutkan dan menggiring fithrah anak yang
terlahir dalam keadaan suci kepada agama yang hanif. Disinilah letak
peranan orang tua sebagai pendidik pertama bagi anaknya setelah ia lahir
kedunia. Kelalaian orang tua dalam fase ini dengan membiarkan mereka
lebih dahulu menerima seruan syaithan ketimbang tauhid merupakan
kesalahan fatal. Karena itu Rasulullah mengingatkan:
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه[11]
Oleh karena itu, Nabi saw menekankan pentingnya pendidikan Aqidah pada
usia dini bahkan pada saat detik-detik kelahirannya ke dunia meskipun
hal tersebut terkesan sederhana. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh
hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : افتحوا على صبيانكم أول كلمة بلا إله
إلا الله و لقنوهم عند الموت لا إله إلا الله[12] (رواه الحاكم عن ابن
عباس)
Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat Lâ ilâha illâ
Allâh dan talqinlah mereka ketika menjelang mati dengan Lâ ilâha illâ
Allâh. (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, kalimat tauhid (Lâ ilâha illâ Allâh)
hendaknya merupakan sesuatu yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak
dan kalimat pertama yang dipahami anak. Hal ini seiring pula dengan
anjuran azan di telinga kanan anak dan iqamah di telinga kirinya sesaat
setelah kelahirannya di dunia ini.
عن ابن عباس : أن النبي صلى الله عليه و سلم : أذن في أذن الحسن بن علي يوم
ولد فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى [13]
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, rahasia dianjurkannya mengumandangkan
adzan kepada bayi yang baru lahir adalah supaya ucapan yang pertama kali
didengar oleh seseorang manusia adalah kalimat-kalimat adzan.
Kalimat-kalimat tersebut meliputi kebesaran dan keagungan Allah.
Didalamnya terdapat kalimat syahadat (persaksian) yang merupakan ikrar
pertama bagi seseorang yang masuk Islam. Tidak diragukan bahwa dampak
dari kalimat-kalimat adzan tersebut akan sampai padanya dan membekas di
hatinya, mekipun saat itu ia tidak merasakannya. Hikmah lainnya, masih
menurutnya, yaitu agar ajakan untuk beribadah kepada Allah dan berikrar
untuk memeluk Islam lebih dulu diterima oleh seorang anak dari ajakan
dan bujuk rayu setan sebagaimana halnya fitrah (agama) Allah lebih dulu
diterima oleh seorang anak dari ajakan dan bujuk rayu setan dan
sebagaimana halnya fithrah Allah lebih dulu mewatak pada diri seorang
anak dari usaha setan untuk merubahnya.[14]
Salah satu usaha agar anak terhindar dari gangguan syaithan adalah
dengan doa. Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis tentang doa Nabi
saw untuk Hasan dan Husein agar mereka dilindungi Allah SWT dari
syaithan. Doa itu adalah doa Nabi Ibrahim buat kedua putranya Ismail dan
Ishaq.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يعوذ الحسن
والحسين ويقول ( إن أباكما كان يعوذ بها إسماعيل وإسحاق أعوذ بكلمات الله
التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة)[15]
Selanjutnya, upaya menanamkan kalimat tauhid dapat ditempuh dengan
berbagai cara dan media. Di antaranya mendengar, mengucapkan, dan
menghapalkan kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat al-Quran, serta al-Hadis
yang terkait dengannya; kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan
berbagai jenis perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya
yang terjadi saat ini; selanjutnya menceritakan berbagai azab yang
ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu akibat perbuatan syirik
mereka.
Adapun mengenai metode pendidikan Aqidah, Imam Al-Ghazali berpandangan
bahwa pendidikan akidah bagi anak harus dilakukan step by step. Upaya
menanamkan Aqidah kepada anak pada masa pertumbuhannya sepatutnya
diawali dengan menghafal. Kemudian seiring dengan kedewasaannya
pemahaman tentang Aqidah akan tersingkap dengan sendirinya sedikit demi
sedikit. Setelah menghafal akan muncul pemahaman yang diiringi oleh
i’tikad, keyakinan, dan pembenaran. Semua itu akan terwujud dengan
sendirinya dalam diri anak tanpa memerlukan dalil-dalil filosofis.
اعلم أن ما ذكرناه في ترجمة العقيدة ينبغي أن يقدم إلى الصبي في أول نشوه
ليحفظه حفظا ثم لا يزال ينكشف له معناه في كبره شيئا فشيئا فابتداؤه الحفظ
ثم الفهم ثم الاعتقاد والإيقان والتصديق به وذلك مما يحصل في الصبي بغير
برهان[16]
Al-Ghazali juga mengakui bahwa metode talqin yang meniscayakan taklid
dalam akidah anak atau pun orang awam masih memiliki kelemahan dan
rentan menerima hal-hal yang dapat merusaknya jika dilontarkan kepadanya
pemahaman-pemahaman akidah yang keliru. Untuk memperkuat akidah anak
ataupun orang awam, al-Ghazali tidak setuju digunakannya metode kalam
dan jadal (debat) karena metode ini justru dapat menggoncangkan
keyakinannya dan menambah keraguannya. Oleh karena itu, menurutnya,
metode yang tepat untuk memperkuat dan memantapkan akidah mereka adalah
menyibukkan mereka dengan membaca al-Qur’an dan mengkaji tafsirnya serta
membaca hadis dan mendalami maknanya. Akidah mereka akan senantiasa
bertambah mantap dengan sebab mendengar dalil-dalil maupun hujjah
Al-Qur’an begitu pula dengan bukti-bukti dan pesan-pesan yang
disampaikan hadits. Selain itu, anak juga harus digemarkan melakukan
praktek-praktek ibadah dan bergaul dengan orang-orang shaleh sehingga
mereka dapat meneladani sikap tanduk dan akhlak mereka yang mulia.
يكون الاعتقاد الحاصل بمجرد التقليد غير خال عن نوع من الضعف في الابتداء
على معنى أنه يقبل الإزالة بنقيضه لو ألقى إليه فلا بد من تقويته وإثباته
في نفس الصبي والعامي حتى يترسخ ولا يتزلزل. وليس الطريق في تقويته وإثباته
أن يعلم صنعة الجدل والكلام بل يشتغل بتلاوة القرآن وتفسيره وقراءة الحديث
ومعانيه ويشتغل بوظائف العبادات فلا يزال اعتقاده يزداد رسوخا بما يقرع
سمعه من أدلة القرآن وحججه وبما يرد عليه من شواهد الأحاديث وفوائدها وبما
يسطع عليه من أنوار العبادات ووظائفها وبما يسرى إليه من مشاهدة الصالحين
ومجالستهم وسيماهم وسماعهم وهيآتهم في الخضوع لله عز و جل والخوف منه
والاستكانة له فيكون أول التلقين كإلقاء بذر في الصدر وتكون هذه الأسباب
كالسقى والتربية له حتى ينمو ذلك البذر يقوى ويرتفع شجرة طيبة راسخة أصلها
ثابت وفرعها في السماء.[17]
Penggunaan cara dan media belajar hendaknya disesuaikan dengan usia dan
perkembangan anak. Pendidiknya hendaknya lebih arif dalam memilih cara
yang memudahkan anak untuk mengingat dan memahami pelajaran yang hendak
diberikan serta memilih media yang disukai anak-anak agar mereka tidak
merasa terpaksa menerima suatu pengajaran yang diberikan. Dengan begitu,
pembelajaran akidah tauhid ini berjalan dengan lancar dan anak tidak
merasa dibebani sesuatu. Contohnya adalah dengan cara memperdengarkan
nyanyian yang di dalamnya terkandung pemahaman tauhid, membacakan
ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. yang menjelaskan pemahaman
tauhid, serta mengajak anak untuk sama-sama melafalkannya bila anak
sudah mampu berbicara. Oleh karena itu, menanamkan tauhid kepada anak
tidak harus dalam suasana belajar, bisa dilakukan kapan saja; pada saat
anak bermain, makan, ataupun ketika menidurkannya. Dengan demikian, para
orangtua sangat dibutuhkan perannya untuk menanamkan pemahaman tauhid
ini di sepanjang hari-hari dan aktivitas anak.
2. MENGAJARKAN ANAK BERSYUKUR DAN BERBAKTI KEPADA ALLAH DAN ORANG TUA
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى
وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ. وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Kami memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya;
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqman [31]:
14-15).
Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang
tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pengorbanan keduanya dalam
memelihara dan mengasuh si anak sejak dalam kandungan. Demikian pula
pengorbanan ketika menyusui si anak selama dua tahun, terutama sang ibu.
Karena itu, sekalipun kedua orangtuanya kafir, seorang anak tetap harus
berbuat baik kepada keduanya. Hanya saja, seorang anak tidak boleh
menaati keduanya dalam hal-hal yang melanggar perintah Allah, karena
tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.
Ayat diatas tidak menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu.
Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak
karena kelemahan ibu, berbeda dengan bapak. Disisi lain, peranan bapak
dalam konteks kelahiran anak, lebih ringan dibanding dengan peranan
ibu[18]. Begitupun soal pendidikan anak, ibu memiliki peranan penting
karena waktu yang diberikan ibu kepada anaknya kadang lebih besar
daripada bapaknya. Oleh karena itu adalah wajar kalau ibu didahulukan.
Al-Manawi memberikan definisi birr al-Walidain sebagai berikut
وبر الوالد التوسع في الإحسان إليه وتحري محابه وتوقي مكارهه والرفق به[19]
”Birrul Walid (berbakti kepada orang tua), yaitu memperluas kebaikan
kepada orang tua, memperhatiakan yang disukai orang tua, menghindari
yang dibenci orang tua dan berlaku lembut atau sopan dengan orang tua”
Bakti anak kepada orang tua menurut Al-Qur’an adalah sebuah hak orang
tua kepada anaknya karena mereka sebagai wakil Allah diamanahi mengemban
tugas-tugas pemeliharaannya (tarbiyyah) dari mulai lahir sampai dewasa.
Oleh karena itu Allah mengajari setiap muslim untuk berterima kasih
kepada orangtuanya dengan mengajarkan kepada mereka untuk selalu berbuat
baik kepada mereka, tidak berkata-kata kasar dan selalu mendoakan
mereka lantaran jasa-jasa mereka yang besar yang telah bersusah payah
menghantarkan mereka menuju kedewasaan.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا
قَوْلاً كَرِيمًا .وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (الإسراء : 23-24)
Kesan lain yang dapat ditangkap dari ayat diatas (QS Luqman [31]: 14-15)
bahwa dalam materi pendidikan tentang kebaktian kepada orang tua harus
disuguhkan kebenarannya dengan argumentasi yang dapat dibuktikan oleh
manusia melalu penalarannya dan pengalamannya tentang realitas.
Sedangkan kalau dipahami munasabah dari larangan mempersekutukan Allah
yang disandingkan dengan bersyukur dengan orang tua melalui kebaktian
kepada mereka akan terlihat bagaimana Allah memberikan pengajaran kepada
manusia bahwa beriman kepada-Nya adalah hal yang sudah semestinya
dilakukan oleh manusia sebagai tanda syukur kepada-Nya atas limpahan
karunia-Nya yang banyak sebagaimana ia juga layak berbakti kepada orang
tua mereka lantaran jasa-jasa orang tua yang besar.
Rasa syukur kepada Allah harus didahulukan dari rasa syukur kepada
manusia, termasuk kepada kedua orangtua. Artinya, sekalipun orangtua
sangat berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita sejak dalam kandungan,
rasa syukur kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada
Allah. Sebab, tempat kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah.
Upaya menancapkan rasa syukur kepada Allah bisa dilakukan dengan
mengajak anak mengamati dan memikirkan karunia Allah yang diperoleh si
anak, keluarganya, serta lingkungan sekitarnya. Di mulai dari hal yang
paling sederhana dan mudah diamati sampai hal-hal yang membutuhkan
pengamatan cermat.
3. MENDIDIK DAN MELATIH ANAK BERAMAL SHALEH
يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ
فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأِرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ
إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ. يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ
Luqman berkata, “Anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat
biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allah Maha
halus lagi Mahatahu. Anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia
mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar,
serta bersabarlah atas apa saja yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS Luqman
[31]: 16-17).
Ayat diatas merupakan lanjutan wasiat Luqman kepada anaknya. Pesannya
kali ini adalah tentang kedalaman ilmu Allah SWT. yang luar biasa.
Luqman memberikan pelajaran kepada Anaknya bahwa Allah mengetahui
perbuatan baik atau buruk walau seberat biji sawi, dan berada pada
tempat yang paling tersembunyi, misalnya dalam batu karang sekecil,
sesempit dan sekokoh apapun batu itu, atau dilangit yang demikian luas
dan tinggi, atau di dalam perut bumi yang sedemikian dalam di mana pun
keberadaannya, niscaya Allah akan mendatangkannya lalu memperhitungkan
dan memberinya balasan.[20]
Selanjutnya dapat dipahami, dari munasabah ayat ini dengan ayat lalu
yang berbicara tentang keesaan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya,
maka ayat ini (QS Luqman [31]: 16) menggambarkan Kuasa Allah melakukan
perhitungan atas amal-amal perbuatan manusia diakhirat nanti. Dengan
demikian, ada dua tema akidah yang diangkat melalui ayat ini dan
sebelumnya yaitu tentang keesaan Allah dan keniscayaan hari Kiamat. Dua
prinsip ini termasuk dari rukun Iman yang mendasari Aqidah Islam.
Kesan lain yang dapat diambil dari ayat diatas adalah bahwa Luqman
berupaya untuk membuka kesadaran dan keyakinan anaknya bahwa Allah
selalu mengawasinya dan amal perbuatannya. Jika seseorang telah merasa
dekat dengan Allah dan sadar akan pengawasan-Nya yang tidak pernah putus
maka hal itu akan dapat menjauhkannya dari perbuatan yang buruk dan
selalu mendorongnya berupaya melakukan amal shaleh. Hal ini seiring
dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani:
أَفْضَلُ الإِيْمَانِ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اللهَ مَعَكَ حَيْثُ مَا كُنْتَ
(رواه الطبراني)
“Iman yang paling utama adalah engkau yakin bahwa Allah menyertai kamu
di mana pun kamu berada” (H.R. At-Thabrani)
Setelah kekuatan akidah tertanam dalam jiwa anak, maka kekuatan tersebut
merupakan pondasi yang kuat dan landasan utama bagi anak untuk menerima
pengajaran pendidik menaati semua perintah Allah berupa taklif hukum
yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu,
perlu motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta
kreativitas yang tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman
akidah yang kuat kepada anak sebagaimana dicontohkan oleh Luqman. Selain
itu, orang tua juga jangan sampai melupakan berharap dan berdoa kepada
Allah agar anaknya menjadi orang yang taat.
Allah memberikan gelar “’Ibâdurrahmân” kepada hamba-hamba-Nya yang mana
diantara salah satu ciri-cirinya adalah mereka yang selalu berkomitmen
dan berdoa agar dianugerahkan istri dan anak yang menyejukkan mata.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
(الفرقان :74)
Imam al-Hasan ketika ditanya tentang maksud قُرَّةَ أَعْيُنٍ pada ayat
ini beliau menjawab dengan mengatakan “orang mukmin yang melihat istri
dan anaknya taat kepada Allah”.
حدثنا أحمد بن المقدام حدثنا حزم قال سمعت كثيرا يسأل الحسن قال يا أبا
سعيد قول الله عز و جل ( هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين ) أفي الدنيا
أم في الآخرة؟ , قال لا بل في الدنيا , قال وما ذاك ؟, قال المؤمن يرى
زوجته وولده مطيعين الله عز و جل, قال وأي شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى
زوجته وولده يطيعون الله عز و جل ذكره[21]
Kalau setiap orang mukmin ingin melihat anak dan istrinya taat kepada
Allah, maka sudah sepatutnya baginya memberikan pengajaran yang baik
kepada mereka mengenai amal-amal shaleh yang mesti dilakukan sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah. Pada ayat (QS Luqman [31]: 17) diatas,
setelah memberikan bimbingan tentang Akidah, Luqman melanjutkan nasihat
kepada anaknya menyangkut amal-amal shaleh yang puncaknya adalah shalat,
serta amal-amal kebajikan yang tercermin dalam amr ma’ruf dan nahi
munkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari
kegagalan yaitu sabar dan tabah karena semua itu merupakan hal-hal yang
telah diwajibkan oleh Allah untuk dibulatkan atasnya tekad manusia.[22]
Tidak disebutkan amal shaleh lain bukan berarti bahwa pengajaran
terhadap anak hanya dibatasi dengan ini bahkan kewajiban-kewajiban yang
mampu dilaksanakan oleh anak seperti shaum, menutup aurat, dan lain-lain
juga perlu diajarkan sejak dini.
Kewajiban pertama yang diajarkan dan diperintahkan kepada anak adalah
kewajiban shalat, karena shalat merupakan tiang agama dan amal pertama
yang akan dihisab pada Hari Kiamat nanti. Pada usia 7 tahun anak sudah
harus diperintahkan menjalankan ibadah shalat, bahkan kalau sampai usia
10 tahun anak masih meninggalkan shalat, diperintahkan kepada orangtua
untuk memukulnya. Imam Ahmad menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا
أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا
لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ[23]
”Ajarilah anak kalian shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia
(jika tidak mau melaksanakannya) jika melewati usia sepuluh tahun dan
pisahkanlah mereka pada tempat tidur.” (HR Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas, dapat digali pemahaman bahwa anak sudah
seharusnya dilatih menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang
Muslim sejak usia 7 tahun. Anak diberi sanksi bila meninggalkan
kewajiban-kewajibannya pada saat usianya sudah mencapai 10 tahun. Hal
ini berarti masa pembiasaan anak melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
selama 3 tahun, sejak usia tujuh tahun sampai 10 tahun. Sedangkan usia
10 tahun sampai menjelang balig bisa dikatakan masa pemantapan, karena
si anak tidak boleh lagi meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Dengan
demikian, seorang anak sudah dipersiapkan sejak awal agar pada usia
balig siap menjalankan semua taklif yang dibebankan Allah kepadanya.
ٍSedangkan perintah Luqman kepada anaknya untuk ber-amar ma’ruf dan nahi
munkar mengisyaratkan bahwa tentulah Luqman sebelumnya telah
mengajarkan kepada anaknya perbuatan-perbuatan yang ma’ruf dan
menggambarkan seperti apa perbuatan yang munkar. Karena bagaimana ia
memerintahkan anaknya tanpa ada pengetahuan tentang itu sebelumnya.
Ma’ruf adalah segala perbuatan yang dipandang baik oleh norma-norma
masyarakat dan nilai-nilai agama sedangkan munkar sebaliknya.
Adapun perintah sabar mengisyaratkan agar dalam melakukan amar ma’ruf
dan nahi munkar setiap orang harus memiliki kesabaran, ketabahan dan
komitmen yang tinggi karena tentu saja hal tersebut tidak bebas dari
rintangan, halangan dan ujian.
4. MENGAJARKAN KEPADA ANAK AKHLAK MULIA DAN SOPAN SANTUN DALAM
BERINTERAKSI DENGAN SESAMA.
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
”Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS Luqman [31]: 18-19).
Pembelajaran selanjutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya
adalah akhlak mulia, yakni sifat-sifat mulia yang harus menghiasi
kepribadian anak. Ayat ini mengisyaratkan bahwa pendidikan akidah dan
akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan
akhlak anak merupakan kewajiban orang tua bagi anaknya dan merupakan
pemberian paling utama orangtua kepada anaknya sebagaimana sabda Nabi
saw.
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : "أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم "(رواه
ابن ماجه عن أنس بن مالك ([24]
Muliakanlah anak-anak kamu dan baguskanlah akhlaknya. (H.R. Ibnu Majah)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا نَحَلَ
وَالِدٌ وَلَدَهُ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ (رواه أحمد)
”Tidak ada yang diberikan orang tua kepada anaknya yang lebih utama dari
budi pekerti yang baik.”
Budi pekerti yang harus diajarkan pertama kali kepada anak adalah budi
pekerti sehari-hari yang dengannya ia berinteraksi dengan orangtua,
keluarga dan orang lain. Luqman mengawali pelajaran akhlak kepada
anaknya agar tidak berlaku sombong terhadap sesama manusia, tidak
bersikap angkuh, sederhana dalam berjalan, dan lunak dalam bersuara.
Semua ini ditujukan agar mereka memiliki kecerdasan berinteraksi dan
berkomunikasi dengan baik. Etika berinteraksi ini sangat berfaedah bagi
anak sebab diperlukan dan dipraktikkan setiap saat sepanjang hayatnya.
Ibnu katsir ketika menjelaskan ayat ini mengatakan: ”Janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia ketika kamu berbicara kepada mereka atau
ketika mereka berbicara kepadamu karena itu merupakan sebuah penghinan
dan salah satu bentuk kesombongan. Sudah seharusnya kita berkomunikasi
seperti yang diajarkan Rasulullah, ketika berbicara menghadapkan seluruh
tubuhnya, dan dengan wajah yang berseri-seri.[25]
Ada sebuah hadits Rasulullah yang dikutip Ibnu Katsir, dimana setiap
muslim dianjurkan untuk bersedekah walaupun hanya dengan menjumpai
saudaranya dengan wajah berseri-seri, dan tidak memakai pakaian yang
terseret (isbalul ijar) karena itu bentuk ketakaburan yang tidak disukai
Allah.
اتق الله ولا تحقرن من المعروف شيئا ولو ان تفرغ من دلوك في إناء المستسقي
وأن تلقى أخاك ووجهك اليه منبسط وإياك واسبال الازرار فان اسبال الإزار من
المخيلة
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan La tusha’ir adalah: Janganlah
kamu bersifat takabur merendahkan hamba Allah dengan berpaling muka
tidak mau berhadapan ketika mereka berbicara kepadamu.[26] Sebetulnya
orang menampakan ketakaburan itu tujuannya agar dirinya dihormati tapi
dengan sikapnya seperti itu justru orang menjadi tidak simpati, kalau
ingin dihormati kita harus memuliakan orang lain.
Pelajaran selanjutnya yang diajarkan Luqman kepada anaknya adalah etika
berjalan yakni hendaknya ia jangan menyombongkan diri dan melangkah
angkuh ketika berjalan. Seseorang harus menyederhanakan jalannya jangan
terlalu pelan begitu pun jangan terlalu cepat. Ibnu Asyur sebagaimana
dikutip oleh M. Quraish Shihab memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat
berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang
miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak
wajar bagi pejalan yang sama, menyombongkan diri dan merasa melebihi
orang lain.[27] Padahal ia juga akan kembali ketempat yang sama yakni
tanah.
Pelajaran penting lain yang juga ditekankan oleh Luqman adalah etika
berbicara, menurut Luqman salah satu diantara adab berbicara yang baik
adalah melunakkan suara ketika berbicara kepada orang lain. Menurut Ibnu
Katsir, maksud perintah ughdhudh min shautika pada QS Luqman [31]: 19
tersebut adalah perintah agar jangan melampaui batas dalam berbicara dan
tidak mengangkat suara/ berteriak yang tidak ada faidahnya layaknya
suara keledai. Dalam hal ini Mujahid berpendapat, seperti dilansir Ibnu
Katsir, suara keledai adalah suara yang paling buruk oleh karenanya
tidak patut seseorang mengangkat suaranya seperti suara keledai.
Penyerupaan ini dengan suara keledai menurut Ibnu Kasir menunjukkan
keharamannya.[28]
Disisi lain, khususnya bagi para orang tua, ada satu hal yang sangat
penting didapatkan si anak dalam proses pembelajarannya menjalankan
berbagai kewajiban serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang
mulia, yakni keteladanan dari para orangtua maupun pendidik. Inilah yang
saat ini jarang dan sulit didapatkan si anak. Bahkan, tidak jarang si
anak melihat sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman yang sedang
ditanamkan kepadanya dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya,
termasuk orangtua maupun para pendidik. Padahal, sudah merupakan tabiat
manusia membutuhkan teladan, karena manusia lebih mudah menerima dan
memahami apa yang dilihat dan dirasakannya daripada apa yang
didengarnya. Karena itulah, kepada manusia diturunkan seorang Rasul di
setiap generasi dari kalangannya sendiri (manusia juga), untuk
mengajarkan dan mencontohkan pelaksanaan ajaran-Nya.
Oleh karena itu, para orangtua hendaklah mempersiapkan lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan si anak agar proses pembelajarannya bisa
berjalan efektif. Janganlah membiarkan lingkungan anak, khususnya
lingkungan rumah, merobohkan bangunan kepribadian anak yang sedang
dibangun, karena ini sangat berbahaya bagi perkembangan si anak untuk
berproses menjadi anak yang shalih.
D. KESIMPULAN
Kisah Luqman merupakan potret orang tua dalam mendidik anaknya dengan
ajaran keimanan dan akhlak mulia. Dengan pendekatan persuasif, Luqman
dianggap sebagai profil pendidik bijaksana, sehingga Allah
mengabadikannya dalam Al-Qur’an dengan tujuan agar menjadi ibrah bagi
para pembacanya. Setidaknya ada empat pesan moral yang dapat diambil
dari kisah Luqman ini yang dapat dijadikan sebagai dasar dan acuan dalam
mendidik anak. Keempat pesan moral itu adalah menanamkan aqidah pada
anak, mengajarkannya bersyukur dan berbakti kepada Allah dan orang tua,
membiasakannya beramal shaleh sejak usia dini, dan mengajarkannya akhlak
mulia dan etika berinteraksi dengan sesama. Jadi pelajaran yang bisa
diambil dari QS Luqman [31]: 13-19 di atas mencakup pelajaran bagi
orangtua dalam mendidik anak-anaknya, dan pelajaran bagi anak untuk
menjadi anak yang shaleh.
Mengenai materi pengajaran yang harus diajarkan kepada anak sejak usia
dini, setidaknya ada beberapa aspek yang harus di perhatikan orang tua
meliputi aspek akidah, bakti kepada orang tua, pendidikan ibadah dan
akhlak. Adapun metode pendidikan akidah khususnya anak dapat digunakan
metode talqin dengan berbagai bentuk variasinya. Sedangkan dalam
menguatkan keimanan anak yang perlu ditanamkan adalah rasa syukur kepada
Allah SWT sehingga anak mengerjakan ibadah tidak menganggapnya sebagai
beban tetapi sebagai sesuatu yang memang sepatutnya ia kerjakan. Begitu
pula mengenai pengajaran tentang kebaktiannya kepada orang tua, yang
perlu digambarkan kepada mereka adalah argumen dan kebenaran yang dapat
mereka terima dan rasakan berdasarkan kemampuan pemahaman mereka dan
pengalaman. Sejalan dengan pendidikan akhlak, orang tua juga harus
memberikan nasehat setiap saat dengan pengajaran yang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar