Sungguh hal seperti ini yang membuatku menggambarkan dalam sebuah
potret tentang pendidikan yang ada dalam pikiranku. Biarkan aku
mendeskripsikan seperti apa potret itu. Yang tergambarkan adalah sebuah
potret dari muka gadis cilik yang muram (yang menjadi fokus utama dalam
potret), sedang di belakangnya terdapat banyak muka guru yang sedang
tersenyum bagaikan sedang menerima gaji yang lebih dari biasanya, lalu
ada seorang guru yang nampak kurus dengan kantung mata yang menghitam,
dan pada bagian terpencil dari potret itu ada sepasang orang tua yang
nampak tak dapat menutupi raut wajah kuatir.
Pagi ini aku bertanya kepada seorang adik yang cukup ku kenal. Dia
sedang dalam tahap untuk memasuki jenjang perkuliahan dalam beberapa
bulan ke depan. Aku bertanya kepadanya “Jurusan apa yang akan kamu pilih
di universitas nanti?”
“Aku masih bingung bang” jawabnya
“Mengapa?”
“Aku sih pengen kuliah di jurusan “A”, tapi jurusan itu kan nanti susah kalau cari kerja”
“Lah…?” aku kebingungan. Tapi ku beranikan diri melanjutkan pembicaraan
yang telah kumulai ini, sebagai bentuk pertanggungjawaban karena telah
lancang untuk bertanya di awal.
“Dek, abang kan bertanya tentang kelanjutan pendidikanmu. Kenapa
jawabanmu begitu jauh, sampai-sampai membicarakan dunia pekerjaanmu
nantinya. Memangnya saat kau melanjutkan kuliah, kamu hanya berpikir
tentang pekerjaan?”
“Lah iya bang. Kan kalau lulus nanti aku mau bekerja juga. Kaya abang gitu deh.”
“Emang kau bisa lulus nanti”
“Ihhh… abang doanya gak asik nih. Masak doain aku biar gak lulus kuliah!” tandasnya dengan raut muka kesal.
Aduh…aduh… apa-apaan ini. Adik ini memasuki kuliah dengan motivasi
untuk bekerja, dan bukan untuk belajar. Akh… tak heran mengapa
jurusan-jurusan tertentu banyak diminati karena SEAKAN-AKAN menjanjikan
lapangan pekerjaan nantinya. Maka produk pendidikan
yang demikian hanya akan menjadikan bangku perkuliahan sebagai sarana
mencari pekerjaan semata. Bukan lagi menjadi semboyang untuk menuntut
ilmu (sampai ke negeri Cina).
“Ya bukan maksud abang mendoakan kamu tidak lulus, dek. Abang hanya
berfikir kalau kamu seharusnya menuntut ilmu dengan baik. Bukan dengan
motivasi bekerja. Abang selalu yakin bahwa orang pintar adalah orang
yang dicari-cari dan bukan yang mencari. Maksud abang, kamu belajar di
bangku kuliah adalah agar menjadi pribadi yang terdidik dan berkualitas.
Dan masalah pekerjaan, yakinlah, jikalau kamu berkualitas maka lapangan
pekerjaan yang mencarimu, dan bukan sebaliknya. Lagi pula, seorang yang
malah bisa membuka kesempatan bagi orang lain dengan membuka lapangan
pekerjaan bagi rekan-rekanmu nanti.
HAHAHA… apa yang kubicarakan ini??? Mungkin adik ini tak mengerti
hal yang sedemikian rumit yang telah kukatakan padanya. Lagi pula, untuk
rekan-rekan sejawatku pun, apa yang tadi kuutarakan masih saja
ditanggapi gunjingan semata. Oalah…le…le… ngomong apa aku ini.
Beberapa waktu silam aku mendatangi rumah salah seorang rekanku dan
menanyakan tentang adikknya yang masih duduk di bangku SMP. “Adikmu kok
tak kelihatan bro?” tanyaku.
“Ya taulah kau anak zaman sekarang. Sore macam begini dia pergi les”
“Lah..? Pergi les? Emang gak cukup apa jam belajar yang udah begitu padat di sekolah, sampai ditambah les segala?”
“Yah begitu deh. Kalau gak les ntar kagak lulus UAN kan gawat”
“Lah…? Emang kalau les bisa memastikan dia bisa lulus UAN apa?”
“Nah begini logikanya bro”. Rekanku ini mulai menunjukan kewibawaan
padaku dalam gerak-gerik selanjutnya. “Kalau yang ikut les aja gak pasti
lulus UAN, apalagi yang kagak ikut les. Gitu loh bro. Nah elu sendiri
aja kan dulu ikut les ya toh?”
“Iya, gua dulu ikut les ya karna cuma biar gaya aja. Karna zaman kita
dulu kan les dianggap hanya untuk orang yang berduit lebih. Nah, gua mah
dulu ikut les ya biar kagak kalah mentereng sama temen yang lain. Tapi
jujur gua malahan seringan cabut dari pada les itu sendiri”
“Nah, zaman sekarang pola pemikiran tuh udah berubah. Les itu musti,
kudu, wajib untuk anak sekolahan. Biar orang tuanya kere, tapi sampai
bela-belain ikutin anaknya les biar nanti anaknya bisa lulus UAN”
OALAH… opo iki?!!! Sampai segitu besarnyakah pengorbanan orang tua
demi kebaikan anak-anaknya? Atau sebegitu kuatirnyakah? Atau sebegitu
bodoh?
Tapi segitu naif-nya kah suatu institusi pendidikan membiarkan
paradigma yang seperti ini mendarah daging dalam masyarakat bangsaku
ini?
Mungkin aku terlalu apriori, tapi beginikah cara dari sebagian
banyak guru untuk meraup kesejahteraan mereka. Membiarkan paradigma di
kepala murid dan orang tua bahwa “Les adalah jalan menghadapi
kelulusan”. Mengapa hal ini sekan menjadi kewajaran?
Tapi aku masih punya pengharapan. Bahwa ada segelintir guru yang
masih sedemikian gigih memberikan jiwa-raga-pemikiran bagi anak
didiknya. Mengajar dengan kerelaan yang sebenarnya, mendidik tanpa
menahan diri terhadap kehausan pendidikan yang ada di kerongkongan
murid-muridnya, tanpa harus membentuk citra Les sebagai sarana
pendidikan plus-plus-plus. Dan ku yakin di dalam guru yang demikian,
merekalah guru yang berpengharapan juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar