Kamis, 09 Agustus 2012

Bagaimana Jika Yayasan Tidak Mau Membayar THR ?


TPG-Batam. Seminggu terakhir ini H2C alias harap-harap cemas mewarnai hari-hari kami. Apa pasal? THR kami belum turun juga. Tak ada kabar berita, tak ada kepastian kapan Tunjangan Hari Raya yang biasa kami terima ini akan turun. Meskipun jumlahnya bukan satu bulan gaji, THR tetap penting dan selalu ditunggu. Kami bekerja di sebuah sekolah Islam swasta di negeri ini. Sekolah yang termasuk lengkap dan mapan dilihat dari uang sekolah, bantuan dari pemerintah juga   begitu besar untuk sekolah ini, seperti dana BOS dan pembangunan ruang kelas baru. Sekolah ini memiliki TK,SD,SMP,SMA dan SMK dengan memunggut uang sekolah paling besar Rp. 300.000,-/bln. Sekolah ini berlabel yayasan yang mempunyai puluhan guru yang lebih terhormat dari pada buruh. Para karyawan kami terdiri dari staf adm, penjaga/pembersih sekolah  dan pengajar. 

Tak ada yang lebih penting dari yang lain. Kelangsungan dan keberhasilan sekolah bergantung pada ketiga unsur ini. Siswa-siswa bisa menjadi lebih berkopetensi dan berprestasi di sekolahnya karena diajari oleh pengajar, dan juga ada  sistem administrasi yang rapi dan teratur. Pengajar juga dituntut untuk professional dan harus menyiapkan rencana program pengajaran, silabus dan program semester.

Sayangnya,  para karyawan  belum menerima THR yang lazim diterima pada  tiap tahun. Kami, para pengajar hanya menduga-duga; menebak-nebak kapan giliran THR kami turun. Ini sudah hari kedelapan dari penantian penuh kegalauan ini. Berbagai berita datang dan pergi. Semua menyoal tentang kapan THR turun. Isinya variatif hingga tak lagi bisa diverifikasi manakah yang valid. Beberapa orang mulai menyangsikan kebenaran akan turun THR, termasuk saya. Hm..entah ya,tapi berdasarkan pengalaman setelah beberapa tahun lebih bekerja disekolah ini, saya mulai meragukan keseriusan para yayasan terhadap THR ini.

Untuk banyak hal, THR merupakan harapan para pekerja dalam memenuhi kebutuhan hari raya Idul Fitri. Yah,meskipun ulama sudah mengingatkan agar hidup bersahaja, tetap sederhana dalam menyambut hari raya, sulit rasanya menyikapi hari raya Idul Fitri dengan biasa-biasa saja. Fluktuasi harga-harga di pasar yang menjadi fokus perhatian betapa Idul Fitri mau tak mau membutuhkan biaya cukup besar, menguras dompet,dan yah..tentu saja merepotkan.
Kali ini, saya baru merasakan dag dig dug menunggu kapan THR turun. Seorang teman yang bekerja di lembaga pemerintah menyarankan saya menggalang aksi untuk menggugat hak-hak kami sebagai pekerja.
Sempat terbersit memang, terutama setelah saya membaca Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.

Berdasarkan PER.04/MEN/1994 ,setiap orang yang mempekerjakan orang lain dengan imbalan upah wajib membayar THR, entah itu berbentuk perusahaan, perorangan, yayasan atau perkumpulan. Sesuai dengan yang tertera di PER.04/MEN/1994 pasal 2, pengusaha diwajibkan untuk memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Peraturan ini tidak membedakan status pekerja apakah telah menjadi karyawan tetap, karyawan kontrak atau karyawan paruh waktu.

Karena hari ini masih sebelas hari jelang hari raya Idul Fitri, selayaknya kami harus tetap sabar menunggu.Sebab, sesuai aturan, THR diberikan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya. Jadi, kami masih harus sabar menunggu hingga tanggal 11 Agustus 2012.

Kalau sampai tanggal 11 Agustus tak ada kabar,tak ada THR, sepantasnya kami laporkan ini pada pihak berwenang. Banyak yang bisa dilakukan. Mengadu kepada Disnaker atau mogok mengajar. Saya sangat berharap tak perlu ada huru hara yang membawa pihak luar ke dalam lembaga ini.

Namun jika itu terjadi, saya tak tahu apakah teman-teman berani mengadu kepada Disnaker atau bersikap frontal dengan mogok mengajar. Sebab setahu saya,rekan-rekan kerja saya bukan orang-orang militan yang berani memperjuangkan haknya dengan pengorbanan. Sejauh yang saya tahu mereka hanya akan bertanya-tanya dalam hati, bertukar informasi lewat sms,merutuki dalam obrolan-obrolan di meja diskusi.

Mengingat sepinya keberanian rekan-rekan pengajar, saya tentu harus realistis. Saya tak bisa melapor ke Disnaker sendiri atau mogok mengajar sendiri. Namun, saya tak akan berhenti menggugat hanya lewat sms dengan teman-teman kantor atau cukup sampai di obrolan ringan. Sementara ini saya akan sampaikan uneq-uneq saya lewat tulisan. Saya yakin dan percaya kekuatan tulisan bisa menggerakkan massa dan mengubah kebijakan. Semoga..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar