Sabtu, 02 Juni 2012

Pendidikan Yang Berarti Bukan Bersertifikasi

Oleh : Robi Kurniawan, MA
Saat ini para pendidik dituntut profesional dan untuk meningkatkan profesionalitas para pendidik tersebut dibutuhkan pelatihan, seminar, dan workshop yang bertema meningkatkan mutu pendidikan. Dan sebagai imbalan untuk guru yang profesional diberikan tunjangan tertentu apakah itu berupa adtional insentif atau sertifikasi. Uang sertifikasi akan diterima setelah memenuhi pemberkasan berupa portofolio bagi pendidik yang siap untuk tidak ikut PLPG selama 10 hari. Dan bagi pendidik yang tidak bisa mengikuti pemberkasan portofolio maka harus mengikuti ujian kompetensi awal (UKA) kemudian berlanjut ke Pusat latihan Profesi Guru (PLPG) dan mengikuti ujian kompetensi akhir. Tentu dengan program sertifikasi guru ini sangat disambut dengan bangga karena merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah kepada guru meskipun sebagian orang mengatakan ini adalah proyek menguntungkan bagi pihak yang lain.

Ada berbagai pertanyaan yang timbul, di antaranya apakah dengan sertifikasi dan pelatihan lainnya sehingga menghabiskan dana  milyaran betul-betul guru menjadi profesional dan bisa mempraktikkan semua itu? dan yang lebih penting lagi apakah pendidikan itu sebenarnya punya arti atau makna?

Menurut Buchori (2001), pendidikan yang punya arti dapat diartikan sebagai pendidikan untuk memahami makna. Pemahaman makna ini penting karena pengetahuan yang tidak bermakna (meaningless knowledge) tidak ada gunanya dan hanya menjadi beban hidup. Sebaliknya, pengetahuan yang bermakna (meaningful knowledge) merupakan sesuatu yang bersifat fungsional dan berguna bagi kehidupan.


Mengutip buku terkenal dan menjadi buku klasik berjudul Realms of Meaning, Buchori menyebutkan enam jenis wilayah makna, yaitu makna simbolik, empirik, estetik, sinoetik, etik, dan sinoptik. Untuk memahami makna di wilayah simbolik, siswa harus mempelajari bahasa dan matematika. Untuk masuk ke wilayah makna empiris, siswa harus belajar lingkungan fisik (fisika, kimia, biologi, dsb), lingkungan sosial, dan budaya. Pelajaran seni (seni suara, seni sastra, seni gerak, dan seni visual) dapat membentuk makna estetik. Makna sinoetik dipahami melalui bermain peran, pembahasan film, maupun cerita-cerita lain.

Untuk wilayah makna etik, siswa perlu memahami dan mematuhi secara sukarela norma-norma yang ada, sedangkan pelajaran sejarah, filsafat, dan agama membangun makna sinoptik.

Semua makna itu hanya akan dapat diperoleh apabila proses pendidikan dilakukan secara mendasar, holistik, dan membumi. Pendidikan yang begini akan terjadi apabila guru dan siswa mempunyai keleluasaan untuk menentukan arah pembelajaran yang paling relevan dengan kebutuhan siswa. Kebutuhan itu sendiri mencakup tingkat perkembangan siswa dan faktor lingkungan tempat siswa itu berada. Selama ini, karena berbagai kebijakan pusat yang membelenggu, kreativitas guru menjadi terpasung, sehingga pembelajaran bermakna tak dapat terjadi. Contohnya test-oriented sebagai salah satu akibat langsung dari sistem Ebtanas maupun UAN telah mendorong pembelajaran berlangsung secara parroting, siswa menghafal materi dan berlatih menjawab pertanyaan. Sangat sedikit kesempatan diberikan untuk memahami apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari

Menurut Delors dkk. (1996), pendidikan yang bermakna harus dilaksanakan melalui empat pilar pendidikan (the four pillars of education), yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Keempat pilar ini mesti diterapkan secara seimbang dalam praktek pendidikan sebab keempatnya merupakan pengalaman hidup sepanjang hayat di mana siswa belajar memahami dan mengaplikasikan ilmu dan nilai yang difokuskan, baik pada individu maupun lingkungan. Pendidikan harus mengupayakan setiap individu menemukan, menggali, dan memperkaya potensi kreatifnya masing-masing dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya (learning to be).
Melalui learning to know, siswa menguasai the instruments of knowledge. Pengetahuan itu sendiri adalah alat (means) dan tujuan (ends) hidup. Dikatakan sebagai alat karena pengetahuan digunakan untuk memahami lingkungan, mengembangkan keterampilan untuk bekerja, dan alat berkomunikasi. Sebagai tujuan, pengetahuan itu memberikan kenikmatan dalam memahami, mengetahui, dan menemukan suatu fenomena kehidupan. Mengingat pengetahuan terus berkembang, penting bagi setiap individu untuk mengetahui segala hal (general knowledge) sebelum dia menuju suatu spesialisasi.

Dalam learning to do, individu dilatih untuk mempraktekkan pengetahuannya. Jadi, di sini dikembangkan keterampilan agar siswa siap menyongsong dunia kerja. Melalui learning to do ini, proses pendidikaan menyiapkan individu siap pakai dan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan tuntutan pekerjaan di masa depan.

Dalam learning to live together, setiap individu harus menyadari bahwa dunia sudah sangat kompleks, penuh konflik, dan adanya kompetisi tidak sehat. Namun, penting disadari bahwa ada tujuan yang sama, yaitu terciptanya kerjasama dan persahabatan (cooperation and friendship). Karena itu, perlu setiap individu belajar memahami orang lain, menerima persamaan maupun perbedaan, dan menyadari adanya saling ketergantungan. Dalam praktek, siswa perlu latihan kerja kelompok, maupun berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Dalam learning to be, pendidikan adalah all round development, keseluruhan perkembangan di mana siswa menjadi independen, berpikir dan berpendapat kritis, sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah sendiri, serta berani mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab.

Guru yang sudah mendapatkan sertifikasi sangatlah diharapkan bisa mengubah mindset belajar anak ke arah empat pilar tersebut. Akan tetapi sertifikasi bukanlah segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar